Setelah Pangeran Diponegoro ditangkap oleh Jenderal De Kock di Magelang pada tahun 1830 akibat tipu daya Belanda, banyak pengikutnya tercerai-berai. Salah seorang pengikut setianya, Raden Aris Langu, memilih untuk mengembara ke berbagai tempat guna mencari perlindungan dan kehidupan yang baru.
Perjalanan Aris Langu membawanya ke sebuah daerah yang penduduknya tidak
begitu ramah. Mereka bersikap sombong, angkuh, dan enggan mengalah. Karena
perilaku penduduknya yang demikian, Aris Langu menyebut daerah itu dengan nama
Semaken, yang berasal dari kata "semangkean", menggambarkan sifat
keras dan angkuh mereka.
Merasa tidak diterima di daerah itu, Aris Langu melanjutkan perjalanannya ke
arah utara. Di tengah perjalanannya, ia merasa kehausan dan mencari sumber air
untuk diminum. Namun, ketika ia menemukan air, ternyata air tersebut berbau
tidak sedap, atau dalam bahasa Jawa disebut "langu". Maka, ia menamai
daerah itu Tlangu sebagai pengingat akan air yang berbau tersebut.
Aris Langu kemudian melanjutkan langkahnya ke arah timur. Setelah berjalan
cukup jauh, ia beristirahat di bawah sebuah pohon kelapa. Merasa kehausan, ia
memetik satu kelapa muda dan membayangkan kesegarannya. Kelapa muda itu
seolah-olah meminta untuk segera dibuka, atau dalam bahasa Jawa disebut
"kemaras". Maka, ia menamai tempat itu Paras, sebagai tanda
peristirahatan dan keinginannya menikmati kesegaran kelapa muda.
Perjalanan masih berlanjut, dan Aris Langu bergerak lebih jauh ke arah
timur. Dengan tongkatnya, ia mencoba mencari sumber air dengan menancapkannya
ke tanah. Namun, air di tempat itu tidak mau mengalir keluar. Dalam bahasa
Jawa, "tuk" berarti sumber air, sedangkan "mandek" berarti
berhenti. Maka, ia memberi nama tempat itu Tukmandek, karena air di sana enggan
mengalir.
Setelah perjalanan panjangnya, Aris Langu akhirnya sampai di sebuah wilayah
yang tenang. Ia kembali menancapkan tongkatnya ke tanah, tetapi kali ini
berbeda. Dari sembilan tempat di mana tongkatnya ditancapkan, muncul sembilan
sumber air yang mengalir deras. Ia menamai daerah itu Tuksongo, yang berarti
"sumber air yang berjumlah sembilan".
Merasa menemukan tempat yang damai dan subur, Aris Langu memutuskan untuk
menetap di Tuksongo hingga akhir hayatnya. Ia menjalani sisa hidupnya dengan damai
di tempat itu, dan setelah meninggal dunia, ia dimakamkan di daerah tersebut.
Kisahnya tetap dikenang oleh masyarakat setempat sebagai bagian dari sejarah
perjalanan dan penamaan daerah di wilayah yang kini termasuk dalam Kapanewon
Kalibawang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar