Pengikut

Rabu, 10 Juli 2024

Kisah Mualaf Chicha Koeswoyo: Terpanggil Adzan Maghrib

Chicha Koeswoyo, artis cilik yang terkenal di era 70-an dan 80-an, memiliki kisah inspiratif dalam perjalanan spiritualnya. Lahir dari keluarga beda agama, Chicha dibesarkan dengan nilai-nilai toleransi dan saling menghormati antar keyakinan.

Perkenalan Chicha dengan Islam bermula di usia 16 tahun. Ketika ingin mematikan televisi saat adzan maghrib berkumandang, ia justru kehilangan remote. Kejadian ini mengantarkannya pada momen istimewa.

"Saya cari di sela-sela sofa, angkat semua bantal, dan periksa kolong meja, tapi tetap tidak ketemu. Akhirnya saya menonton adzan maghrib," ungkapnya.

Mendengarkan lantunan adzan maghrib membawa kedamaian bagi Chicha. Ia merasakan ketenangan dan kelembutan dalam hatinya. Sebuah suara pun seolah berbisik di telinganya, "Sampai kapan kau mengabaikan panggilan-Ku? Masihkah kau terus berpaling dari Aku?"

Pengalaman tersebut membangkitkan rasa haru dan kebingungan dalam diri Chicha. Berbagai emosi bercampur aduk, membuatnya mantap untuk mencari tahu lebih dalam tentang Islam.

Bersama adiknya, Chicha mulai mempelajari agama Islam. Mereka membeli Alquran, tafsirnya, mukena, dan buku tuntunan sholat. Dengan penuh semangat, Chicha mempelajari wudhu dan menghafal bacaan sholat.

Setelah mantap dengan keyakinannya dan mendapat restu dari sang ibu, Chicha Koeswoyo memantapkan diri untuk memeluk Islam pada tahun 1984 di Masjid Al Azhar.

"Dengan hati tenteram, saya menjalani hidup sebagai perempuan Muslim," tuturnya.

Kisah mualaf Chicha Koeswoyo menjadi bukti bahwa hidayah dapat datang kapanpun dan dimanapun. Keberaniannya untuk mengikuti panggilan hati dan mempelajari Islam dengan sungguh-sungguh menjadi inspirasi bagi banyak orang. 

Sumber: Kisah Mualaf Chicha Koeswoyo, Dapat Hidayah Islam ketika Dengar Adzan Maghrib : Okezone Muslim

Minggu, 31 Maret 2024

Kisah Tentang Raden Rangga Samudra Putra Danang Sutawijaya, Panembahan Senopati Raja Matarma Islam Pertama

 



Raden Rangga adalah anak kedua dari Panembahan Senopati, raja pendiri dinasti Mataram. Dia dikenal sebagai pemuda yang sangat sakti, kuat, dan tidak pernah takut pada siapapun. Namun, sifat cepat marahnya membuatnya mudah memukul siapa pun. 

Suatu hari, seorang pendekar dari Banten datang menantang Panembahan Senopati untuk pilih tanding. Raden Rangga meminta izin untuk menghadapinya, dan permintaannya disetujui untuk menguji kehebatannya.

Pertarungan antara Raden Rangga dan pendekar Banten berlangsung sengit, dengan menggunakan berbagai macam kekuatan. Akhirnya, dengan pukulan tenaga dalam, Raden Rangga keluar sebagai pemenang.

Kemudian, sebuah rombongan pengamen yang memiliki keahlian unik datang ke Mataram. Raden Rangga, berpakaian sederhana, menantang pemimpin rombongan tersebut untuk adu kekuatan. Dengan gagah berani, Raden Rangga menawarkan diri untuk ditarik oleh sepuluh orang sekaligus. Meskipun ditarik dengan keras, ia tetap kokoh di tempatnya. Bahkan dua orang yang mencoba memukulnya akhirnya dibanting ketanah.

Ketika identitas Raden Rangga terungkap, semua orang menjadi terdiam. Panembahan Senopati, ayah Raden Rangga, tidak menyukai kelakuan putranya yang sombong tersebut. Ia kemudian menguji Raden Rangga dengan meminta agar ia mematahkan jari telunjuknya. Namun, Raden Rangga gagal melakukan hal tersebut, bahkan saat dicoba oleh ayahnya sendiri.

Merasa malu, Raden Rangga pergi meninggalkan Mataram menuju Pati. Namun, di tempat pamannya di Pati, Adipati Wasis Wijayakusuma, ia kembali menunjukkan kekuatannya dengan memecahkan sebuah batu besar hanya dengan menabraknya. Meskipun berada di sana dengan sikap baik, Raden Rangga kembali memamerkan kesaktiannya dengan menusukkan pedang ke tubuhnya sendiri.

Ketika kembali ke Mataram, Panembahan Senopati memerintahkan Raden Rangga untuk berguru kepada Ki Juru Martani. Meskipun merasa dirinya sudah sangat sakti, Raden Rangga patuh dan menunggu Ki Juru Martani yang sedang salat Dzuhur. Sambil menunggu, ia iseng menusuk-nusukkan jari ke batu ubin di tempat tersebut, yang membuat Ki Juru Martani kagum akan kekuatannya.

Raden Rangga akhirnya menerima bahwa kesaktiannya masih kalah dibandingkan dengan Ki Juru Martani dan bersedia belajar dari beliau. Namun, dalam perjalanan pulang ke Mataram, ia bertarung sengit dengan seekor ular ganas dan akhirnya tewas terkena gigitan ular tersebut.

Kematiannya
Rupanya karena kehidupan Raden Rangga Samudra yang sering melanggar aturan, menjadi penyebab ia tidak disukai oleh Danang Sutowijaya, Panembahan Senopati. Ia memerintahkan ki Juru Mertani untuk menghukumnya. Tetapi versi yang terkenal, Raden Rama Samudra, diserahkan kepada Nyi Roro Kidul, Istri Panembahan Senopati, untuk diasuhnya di laut selatan. Wallahu a'lam.

 

Kamis, 28 September 2023

Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Salam Berbicara tentang Korupsi

 Teks Hadist

حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ حَدَّثَنَا وَكِيعُ بْنُ الْجَرَّاحِ حَدَّثَنَا إِسْمَعِيلُ بْنُ أَبِي خَالِدٍ عَنْ قَيْسِ بْنِ أَبِي حَازِمٍ عَنْ عَدِيِّ بْنِ عَمِيرَةَ الْكِنْدِيِّ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ مَنْ اسْتَعْمَلْنَاهُ مِنْكُمْ عَلَى عَمَلٍ فَكَتَمْنَا مِخْيَطًا فَمَا فَوْقَهُ كَانَ غُلُولًا يَأْتِي بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ

قَالَ فَقَامَ إِلَيْهِ رَجُلٌ أَسْوَدُ مِنْ الْأَنْصَارِ كَأَنِّي أَنْظُرُ إِلَيْهِ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ اقْبَلْ عَنِّي عَمَلَكَ قَالَ وَمَا لَكَ قَالَ سَمِعْتُكَ تَقُولُ كَذَا وَكَذَا قَالَ وَأَنَا أَقُولُهُ الْآنَ مَنْ اسْتَعْمَلْنَاهُ مِنْكُمْ عَلَى عَمَلٍ فَلْيَجِئْ بِقَلِيلِهِ وَكَثِيرِهِ فَمَا أُوتِيَ مِنْهُ أَخَذَ وَمَا نُهِيَ عَنْهُ انْتَهَى

Shahih Muslim (9/361) – Abu Bakr bin Abi Syaibah menceritakan kepada kami, Waki’ bin al-Jarrah menceritakan kepada kami, Isma’il bin Abi Khalid menceritakan kepada kami dari Qais bin Abi Hazim

dari Adiy bin ‘Imarah al-Kindiy, ia berkata, “ Saya mendengar Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam bersabda, “Barangsiapa di antara kalian yang kami tugaskan untuk pekerjaan (urusan), lalu ia sembunyikan dari kami sebatang jarum atau lebuh dari itu, maka itu adalah ghulul (korupsi) yang akan dia bawa pada Hari Kiamat.””

(Adiy bin ‘Imarah al-Kindiy) berkata, “Maka seorang laki-laki hitam dari al-Anshar menghadapnya (Rasul), sepertinya aku melihat dengan jelas, lalu ia berkata, “Wahai Rasulullah, “Copotlah jabatanku, dari jabatan yang engkau tugaskan.” Rasulullah bersabda, “Ada apa ini?” Ia menjawab, “Aku mendengarmu berkata demikian-demikian.”  Rasulullah bersabda, “Aku katakan sekarang, barangsiapa di antara kalian yang kami tugaskan untuk suatu pekerjaan (urusan) maka hendaklah dia membawa (seluruh hasilnya), sedikit maupun banyak. Lalu, apa (upah) yang diberikan kepadanya, maka dia boleh mengambilnya. Sedangkan apa yang dilarang, maka tidak boleh.””

Faidah Hadist

Dalam hadist di atas menggunakan kata ghululan yang secara umum digunakan untuk setiap pengambilan harta oleh seseorang secara tidak sah (ilegal) dari tugas yang diamanatkan kepadanya atau tanpa seijin yang memberi kuasa kepadanya (bisa pemerintah, atau perusahaan, atau perseorangan). Atau kita mengenalnya dengan  bahasa Indonesia serapan korupsi.

Pegawai tidak boleh mengambil dari sesuatu pekerjaan kecuali upah (dan bonus atau tentu saja) yang sudah ditentukan oleh yang memberikan pekerjaan (pemerintah, perusahaan). Seperti diterangkan oleh hadist berikut:

حَدَّثَنَا زَيْدُ بْنُ أَخْزَمَ أَبُو طَالِبٍ حَدَّثَنَا أَبُو عَاصِمٍ عَنْ عَبْدِ الْوَارِثِ بْنِ سَعِيدٍ عَنْ حُسَيْنٍ الْمُعَلِّمِ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ بُرَيْدَةَ عَنْ أَبِيهِ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ اسْتَعْمَلْنَاهُ عَلَى عَمَلٍ فَرَزَقْنَاهُ رِزْقًا فَمَا أَخَذَ بَعْدَ ذَلِكَ فَهُوَ غُلُولٌ

Sunan Abi Dawud (8/169) – dari Abdillah bin Buraidah dari ayahnya dari Nabi shalallahu ‘alaihi wa salam, beliau bersabda, “Barangsiapa di antara kalian yang kami tugaskan untuk pekerjaan (urusan), lalu kami tetapkan upahnya/imbalannya untuknya, maka apa yang ia ambil di luar (imbalan) itu adalah korupsi

Selasa, 26 September 2023

Syafaat

ARTI/DEFINISI

Menurut Bahasa

Syafaat berarti mengumpulkan sesuatu (menggabungkan sesuatu dengan sejenisnya). Syafaat adalah wasilah (perantara) dan thalab (permintaan).

Menurut Istilah

Syafaat berarti سؤال ا لخير للغير  (meminta kebaikan untuk orang lain). Contohnya adalah doa seseorang untuk saudaranya dan permohonannya kepada Allah agar Allah menuntun saudaranya dalam kebenaran. Sayid Sabiq mengartikannya dengan memohonkan kepada Allah untuk kebaikan para manusia di akhirat.

Siapa Pemilik Syafaat

Syafaat itu hanya milik Allah semata seperti dalam surat az-Zumar(39) : 44:

قل للهِ الشفعة جميعًا

Katakanlah : Hanya kepunyaan Allah syafaat itu semuanya..

BAGI SIAPAKAH SYAFAAT ITU

Syafaat itu bagi orang beriman yang mentauhidkan Allah dan bukan bagi orang-orang yang mengerjakan syirik.

Imam Bukhari meriwayatkan bahwa Abu Harairah bertanya kepada Nabi saw:

أَسْعَدُ النَّاسِ بِشَفَاعَتِي يَومِ الْقِيَامَةِ

”Siapa orang yang paling beruntung mendapatkan syafaat darimu?”

Beliau menjawab,

مَنْ قَالَ لا إله إلا الله خَالِصًا مِنْ قَلْبِهِ

”Yaitu orang-orang yang bersaksi bahwa tiada Ilah/Tuhan (yang berhak disembah) kecuali Allah, dengan persaksian yang tulus.”

Atau hadits riwayat Muslim dan Tirmidzi berikut:

لِكُلِّ نَبِيِّ دَعوَةٌ مُستَجَابَةٌ فَتَعَجَّلَ كُلُّ  نَبِيِّ دَعْوَتُهُ وَإِنِّيْ ا جْتَبَأْتُ  دَعْوَتِيْ شَفَاَعَةً لأُمَتِي يَوْمَ الْقِيَامَةِ . فَهِيَ نَائِلَةُ إِنْ شَاءَ  الله مِنْ مَاتَ مِنْ أُمَّتِي لاَ يُشرَكَ بِاللهِ شَيْئًا   

Bagi setiap Nabi (tersedia) baginya satu doa mustajab (pasti dikabulkan oleh Allah swt). Maka semua nabi telah menyegerakan permintaannya, kecuali aku. Sebab aku masih menyimpan permintaanku itu agar menjadi syafaat untuk umatku, kelak pada hari kiamat. Maka syafaatku itu insyaallah mencapai siapa saja dari umatku yang meninggal dalam keadaan tidak menyekutukan Allah dengan apapun selain-Nya . (Shahih al-Jami’: 5176)

Syafaat itu bagi orang-orang yang diridlai Allah swt untuk menerima syafaat-Nya,

Firman Allah dalam al-Anbiya (21):28.    

وَلاَ يَشْفَعُونَ إِلاَ لِمَنِ ارتَضَي

“Dan mereka tiada memberi syafaat melainkan kepada orang yang diridlai (Allah)”.

Sedangkan bagi orang yang bukan ahli tauhid dan melakukan syirik kepada-Nya, mereka tidak berhak mendapatkan syafaat Allah. Karena Allah tidak mengampuni dosa syirik tetapi mengampuni dosa-osa lainnya.

إِن الله لاَ يَغفِرُ أَن يُشرَكَ بِهِ ~ وَيَغفِرُ مَا دُونَ ذَلِكَ لِمَن يَشَاءُ

Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik dan dia mengampuni segala dosa selain darinya itu bagi siapa yang dikehendaki (an-Nisa: 48)

SIAPA YANG BISA MEMBERI MANFAAT

Mereka yang dapat memberi syafaat  adalah orang-orang yang Allah ridlai untuk memberi syafaat. Firman-Nya ta’ala dalam surat Thaha(20):109:

يَومَئِذٍ لاتَنفَعُ الشفَعَةُ إِلا مَن أَذِنَ لَهُ الرَحمَنُ وَرَضِيَ لَهُ قَوْلا

Pada hari itu tidak berguna syafaat, kecuali (syafaat) orang yang Allah Maha Pemurah telah memberi izin kepadanya, dan Dia telah meridlai perkataanya.

Mereka itu adalah Nabi Muhammad saw, para nabi, para malaikat dan orang-orang shalih yang akan memberikan syafaatnya. (lihat shahih Bukari IX/185-191, dan Shahih Muslim I/179-184).

MACAM MACAM SYAFAAT

Syafaat Agung (syafaat Uzhma)

Ini khusus milik Nabi Muhammad, yaitu permohonan oleh Nabi Muhammad kepada Allah Ta’ala agar segera diadakan putusan dan penetapan antara seluruh makhluk, agar mereka dapat berhenti dari kesengsaraan dan penderitaan yang diderita di padang Mashar, tempat mereka berkumpul, seperti yang diceritakan dalam hadist riwayat Muslim. Pada hari kiamat manusia menghadapi tekanan dan bencana yang besar, sebagian dari mereka berkata kepada yang lainnya, ”Carilah syafaat bagi kita di sisi Allah”. Mereka menghampiri Adam, bapak semua manusia, sambil menyebut kemuliaanya - Allah menciptakannya dengan tangan-Nya, para malaikat sujud kepadanya dll, tetapi Adam merasa keberatan karena beliau pernah durhaka kepada-Nya dengan makan buah yang dilarang-Nya. Kemudian mereka menghapiri Nuh dengan mengatakan kemulian-kemuliaanya - Beliau rasul pertama kali yang Allah utus di muka bumi, Nuh as menolak karena ia pernah meminta kepada Allah tanpa dilandasi pengetahuan (lih.Hud:45). Kemudian menghampiri Ibrahim - sebagai khalilullah (kekasih Allah), tetapi Ibrahim as menolak karena pernah melakukan kesalahan tiga kali. Lalu mereka menghampiri Musa as, iapun keberatan karena pernah membunuh jiwa yang tidak diperintah untuk dibunuh (orang Qibthi), lalu mereka menghampiri Isa-kalamullah, tetapi ia menolak karena ada orang yang kedudukannya lebih tinggi dari dia, sambil berkata “Temuilah Muhammad  seorang hamba yang dosa terdahulu dan yang akan datang telah diampuni. Mereka mendatangi Muhammad, lalu Beliau meminta syafaat kepada Allah, agar menenangkan manusia pada saat itu. (lihat HR. Bukhari IX/179  dan HR Muslim I/180-187).

Syafaat untuk penghuni surga

Karena setelah calon penghuni surga menyeberangi ash-shirath dan tiba di depan surga, mereka mendapati pintunya tertutup.  Lalu Muhammad saw memohon syafaat kepada Allah swt untuk membukanya. Sebagaimana riwayat Muslim dari Anas bin Malik ra dia berkata bahwa Rasullullah saw bersabda:

  أَنَا أَوَّلَ النَّاسِ يَشْفَعُ فِي الْجَنَّةِ وَ أَنَا أَكْثَرُ الأَنْبِيَاءِ ت

Aku adalah orang pertama yang memberi syafaat untuk masuk surga dan aku adalah nabi yang paling banyak pengikutnya. (lihat HR Bukhari I/188).    

Syafaat untuk orang-orang yang jumlah kebaikannya sama dengan dosanya supaya bisa masuk surga (lihat QS al-A’raf : 46-49).

Syafaat untuk mengangkat ahli surga di atas yang semestinya.

Syafaat untuk orang-orang yang sudah diputuskan masuk neraka supaya tidak masuk neraka.

Syafaat untuk orang-orang agar bisa masuk surga tanpa dihisab (lihat Bukhari VIII/140 dan Muslim I/197-198).

Allah juga berfirman

أُدْخِلِ الْجَنَّةَ مِن أُمَّتِكَ مَنْ لاَ حِسَابَ عَلَيْهِ مِنَ الْبِابِ الأَيْمَنِ مِنْ أَبْوَابَ الْجَنَّةِ

Masukkanlah ke surga dari umatmu orang-orang yang tidak dihisab dari pintu kanan dari pintu-pintu surga (HR Muslim: I/185-186). Dan hal itu terjadi setelah ada syafaat

Syafaat untuk mengeluarkan orang-orang Islam yang berdosa yang telah masuk neraka agar dikeluarkan darinya.

Sebagaimana diterangkan dalam hadist-hadist mutawatir. Syafaat ini umum; berkali-kali dilakukan oleh Rasulullah saw, juga malaikat dan para nabi, serta orang-orang mukmin juga akan memberikan syafaat. (Lihat Shahih al-Bukhari IX/185-191 dan Shahih Muslim I/179-184).

يَخرج قوم من النار بشفعة محمد صلي الله عليه و السلام يدخلون الجنة ويسنون الجهنميين

Akan ada sekelompok orang yang keluar dari neraka dengan syafaat Muhammad saw lalu mereka masuk surga. Mereka ini disebut al-jahanamiyun (yakni orang-orang yang diselamatkan dari jahanam (HR Bukhari, Ahmad, Abu Daud, lih. Shahih al-Jami’ash-shaghir no. 8055).

Syafaat Rasul  untuk meringankan siksa pamannya, Abu Thalib.

Syafaat Beliau tidak membuatnya keluar dari neraka karena ia meninggal dalam keadaan musyrik.

لَعَّلّهُ تَنْفَعُهُ شَفَاعَتِي يَومَ القِيَامَةِ فَيُجْعَلُ فِي ضَحْضَاحِ مِن نَارِ يَغْلِي مِنهُ دِمَاغُهُ 

Mudah-mudahan syafaatku akan menolongnya (Abu Thalib) pada hari kiamat, kemudian ia ditempatkan di dhahdhah dari neraka yang membuat otaknya mendidih. (HR Bukhari VIII/144 dan  Muslim 1/195)

YANG DAPAT MEMBERIKAN SYAFAAT SELAIN RASULULLAH DAN PARA MALAIKAT

Orang iman yang mendoakan orang iman lainnya.

Misalnya anak shalih yang mendoakan kedua orang tuanya, kalau Allah mengizinkan dan mengabulkan doanya, maka Allah pun akan mencintai orang tuanya seperti orang tua mengasihinya diwaktu kecil. Demikian juga orang yang melakukan sholat jenazah. Seperti HR Muslim dari Ibn Abbas ra bahwa dia mendengar Nabi saw bersabda,

وعن ابن عباس رضي الله عنهما قال سمعت النبي صلي الله عليه وسلام : يقول رجل مسلم يموت ,فيقوم علي جنازته أربعون رجلا لا يشركون بالله شيئا إلا شفعهم الله فيه  

”Jika ada seseorang Muslim meninggal, lalu ada empat puluh orang yang tidak menyekutukan Allah sholat atas jenazahnya niscaya Allah akan memberikan syafaat untuknya (lihat Bulughul Maram hadist no. 581)

Para suhada

يَشْفَعُ الشهيد في سَبعِينَ مِن أَهلِ بَيتِهِ

Akan memberi syafaat seorang syuhada untuk tujuh puluh orang dari keluarganya. (HR. Abu Daud dari Abu Darda’ Shahih al-Jami’ash-shaghir no: 8093). Dan masih ada contoh-contoh yang lain.

AGAR MENDAPATKAN SYAFAAT?

Mentauhidkan Allah

Abu Hurairah bertanya kepada Nabi saw: ”Siapa orang yang paling beruntung mendapatkan syafaat darimu?” Beliau menjawab,

أَسْعَدُ النَّاسِ بِشَفَاعَتِي يَومِ الْقِيَامَةِ مَنْ قَالَ لا إله إلا الله خَالِصًا مِنْ قَلْبِهِ أو نَفْسِهِ.

”Aku berikan syafatku pada hari kiamat (yaitu) orang-orang yang bersaksi bahwa tiada Ilah/Tuhan (yang berhak disembah) kecuali Allah, dengan persaksian yang tulus dalam hati atau dirinya.” (HR Bukhari: no.99)

Membaca al-Quran

إِقْرَءُوا الْقُرْاَنَ فَإِنَّهُ يَأْتِي شَفِيعًا ِلأَصْحَبِهِ

Bacalah al-Quran. Sesungguhnya dia akan datang pada hari kiamat sebagai pemberi syafaat bagi sahabatnya. (HR Muslim no. 804)

Puasa (HR Ahmad II/174, al-Hakim I/554)

Berdoa setelah azan (HR Bukhari no. 614)

Shalawat Kepada Nabi.

Nabi bersabda:

أَوْلَى النَّاسِ بِشَفَعَتِي يَومِ الْقِيَامَةِ أَكْثَرُ هُمْ عَلَيَّ صَلاَةً

Orang yang paling berhak mendapatlan syafaatku pada hari kiamat adalah, yang paling banyak shalawat kepadaku (HR Tirmidzi: no. 484)

Shalatnya sekelompok muslim terhadap mayat muslim

Memperbanyak sujud (HR Muslim no. 226)

KEPADA ALLAH SAJA KITA MINTA SYAFAAT

إِنْ تَدْعُوهُم لاَ يَسْمَعُوا دُعَاءَكُمْ وَلَوْ سَمِعُوا مَا اسْتَجَابُوا لَكُم، وَيَوْمَ الْقِيَمَةِ يَكْفُرُونَ بِشِرْكِكُم، وَلاَ يُنَبِئُكَ مِثْلَ خَبِيرِ.

Jika kamu menyeru (berdoa) mereka, mereka tidak mendengar seruanmu, kalaupun mereka mendengar, mereka tidak dapat memperkenankan permintaanmu. Dan pada hari Kiamat mereka akan mengingkari kesyirikanmu dan tidak ada yang dapat memberikan keterangan sebagaimana yang diberikan oleh yang Maha Mengetahui. QS Fathir: 14.

TIDAK BOLEH MINTA SYAFAAT ATAU SELAINNYA

Rasulullah bersabda:

إِنَّهُ لاَ يُسْتَغَاثُ بِي وَإِنَّمَا يُسْتَغَاثُ بِاللهِ.

Sesungguhnya tidak boleh beristighatsah kepadaku, tetapi istighatsah itu seharusnya kepada Allah (HR ath-Thabrani – lihat Muhammad at Tamimi, Syaikh, Kitab at-Tauhid, bab Termasuk syririk: Istightsah atau doa kepada selain Allah)

Bahkan beliau bersabda kepada kita:

إِذَا سَأَلْتَ فَاسْأَلِ اللهَ وَ إِذَا اسْتَعِنْتَ فَاسْتَعِنْ بِاللهِ

Apabila engkau meminta, maka mintalah kepada Allah dan apabila engkau memohon pertolongan, maka mohonlah pertolongan kepada Allah (HR at-Trimidzi, ia berkata kadist ini shahih).

Maraji:

’Aqidah al-Islamiyah, Sayyid Sabiq ,

Bulughul Maram, Ibn Hajar al-Atsqalani

At-Tauhid li ash-Shafi ats-Tsani al-‘Ali, Dr. Shalih   bin Fauzan bin Abdullah al-Fauzan

222 Su’aal wa Jawaab fi al-‘Aqidah al-Islamiyah, Syaikh Hafizh bin Ahmad Hakami

Al-Qaul al-Mufid ‘ala Kitab al-Tauhid, Shaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin

Kaifa Nata’amalu ma’a as-Sunah an-Nabawiyyah. Dr. Yusuf Qardhawi

Minggu, 24 September 2023

Berdiri Yang Dilarang

Oleh: Sugiyanta, S.Ag, M.Pd

Banyak orang terbiasa berdiri untuk menghormati sebagian lainnya. Misalnya saat guru memasuki kelas, para siswa disuruh berdiri. Saat seorang ustadz atau kyai menaiki mimbar pengajian, para hadirin diminta berdiri. Saat pengantin memasuki ruang pesta,


hadirin diminta berdiri. Saat petinggi mendatangi daerah, rakyat pun diminta berdiri. Lalu bagaimana Islam memandang penghormatan yang demikian?

Teks Hadist 1

سنن أبي داود - (ج 13 / ص 465) حَدَّثَنَا مُوسَى بْنُ إِسْمَعِيلَ حَدَّثَنَا حَمَّادٌ عَنْ حَبِيبِ بْنِ الشَّهِيدِ عَنْ أَبِي مِجْلَزٍ قَالَ: خَرَجَ مُعَاوِيَةُ عَلَى ابْنِ الزُّبَيْرِ وَابْنِ عَامِرٍ فَقَامَ ابْنُ عَامِرٍ وَجَلَسَ ابْنُ الزُّبَيْرِ فَقَالَ مُعَاوِيَةُ لِابْنِ عَامِرٍ اجْلِسْ فَإِنِّي سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ مَنْ أَحَبَّ أَنْ يَمْثُلَ لَهُ الرِّجَالُ قِيَامًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنْ النَّار

Sunan Abi Dawud (13/465) – Telah menceritakan kepada kami Musa bin Ismail, telah menceritakan kepada kami Hammad dari Habib bin asy-Syahid dari Abi Mijlaz, ia berkata, “Mu’awiyah mendatangi Ibn az-Zubair dan Ibn ‘Amar, maka Ibn ‘Amar berdiri sementara Ibn az-Zubair tetap duduk. Maka Mu’awiyah berkata kepada Ibn ‘Amar, “Duduklah, karena sungguh saya telah mendengar bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam bersabda, “Barangsiapa yang suka dihormati manusia dengan berdiri untuknya, maka hendaklah ia mendiami tempat duduknya di neraka.””

Pelajaran hadist

Hadist di atas mengandung pelajaran adab:

  1. Tidak boleh seseorang minta dihormati manusia lainnya dengan cara berdiri
  2. Tidak boleh seseorang memberikan penghormatan tamunya dengan cara berdiri. Kecuali berdiri untuk membantu tamu yang baru datang, misalnya berdiri untuk membantu tamunya berjalan karena sakit, membawakan perbekalannya dan lain-lain.
Teks Hadist 2

مسند أحمد - (ج 24 / ص 441) حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ مَهْدِيٍّ عَنْ حَمَّادِ بْنِ سَلَمَةَ عَنْ حُمَيْدٍ عَنْ أَنَسٍ قَالَ: مَا كَانَ شَخْصٌ أَحَبَّ إِلَيْهِمْ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَكَانُوا إِذَا رَأَوْهُ لَمْ يَقُومُوا لِمَا يَعْلَمُوا مِنْ كَرَاهِيَتِهِ لِذَلِك

Musnad Ahmad (24/441)

Telah menceritakan kepada kami ‘Abdurrahman bin Mahdiy dari Hammad bin Salamah dari Humaid dari Anas, ia berkata, “Tak seorang pun yang lebih dicintai oleh para Sahabat daripada Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam. Tetapi bila mereka melihatnya Rasulullah (hadir), mereka tidak berdiri, karena mereka mengetahui bahwa beliau membenci hal tersebut.”

Pelajaran Hadist

Para Sahabat radliallahu ‘anhum sangat mencitai Rasulullah shallahu ‘alaihi wa salam. Tetapi bila mereka melihat beliau mendekatinya, mereka tiak berdiri untuk beliau. Karena mereka mengetahui bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam membenci dan tidak menyukai hal yang demikian.

Pemimpin, Gubernur, Bupati, Kyai, Ustadz, Ulama atau siappun tidaklah sebanding dengan Rasulullah. Mengapa kita mesti menghormati orang lain melebihi kita menghormati Rasulullah. Rasulullah sangat tidak menyukai disambut dengan cara berdiri. Wallahu a’lam.

Berdiri yang dibolehkan

Adapun bila ada tamu datang, lalu kita berdiri, kemudian menyambut dan berjabat tangan, atau berdiri lalu membantu tamu turun dari mobil (kungkin karena sakit) ini diperbolehkan. Karena Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam pun melakukannya dan kadang memerintahkannya. Seperti ketika Fatimah radliallahu ‘anha datang berkunjung, Rasulullah bergegas berdiri, mendatangi putrinya itu lalu memeluknya. Begitu juga saat Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam mendatangi putrinya itu, Fathimah melakukan hal yang sama.  Begitu juga saat Sa’ad pulang perang.  Dikisahkan Saad  bin Mu’adz, pemimpin para Sahabat Anshar pulang dari perang dengan keadaan terluka. Dalam kondisi seperti itu, Rasulullah memintanya agar ia memberi putuan hukum dalam perkara orang Yahudi. Maka Sa’ad pun mengendarai keledai. Ketika ia kembali, Rasulullah berkata kepada orang-orang Anshar dengan bersabda,

قُومُوا إِلَى سَيِّدِكُمْ

Berdirilah untuk pemimpin kalian

Yaitu berdiri membantu Sa’ad dan lainnya turun dari keledayi karena sedang terluka.

Teks Hadist Lengkap Tentang Sa’ad bin Mu’adz

صحيح مسلم - (ج 9 / ص 223)و حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ وَمُحَمَّدُ بْنُ الْمُثَنَّى وَابْنُ بَشَّارٍ وَأَلْفَاظُهُمْ مُتَقَارِبَةٌ قَالَ أَبُو بَكْرٍ حَدَّثَنَا غُنْدَرٌ عَنْ شُعْبَةَ و قَالَ الْآخَرَانِ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ جَعْفَرٍ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ عَنْ سَعْدِ بْنِ إِبْرَاهِيمَ قَالَ سَمِعْتُ أَبَا أُمَامَةَ بْنَ سَهْلِ بْنِ حُنَيْفٍ قَالَ سَمِعْتُ أَبَا سَعِيدٍ الْخُدْرِيَّ قَالَ: نَزَلَ أَهْلُ قُرَيْظَةَ عَلَى حُكْمِ سَعْدِ بْنِ مُعَاذٍ فَأَرْسَلَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلَى سَعْدٍ فَأَتَاهُ عَلَى حِمَارٍ فَلَمَّا دَنَا قَرِيبًا مِنْ الْمَسْجِدِ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِلْأَنْصَارِ قُومُوا إِلَى سَيِّدِكُمْ أَوْ خَيْرِكُمْ ثُمَّ قَالَ إِنَّ هَؤُلَاءِ نَزَلُوا عَلَى حُكْمِكَ قَالَ تَقْتُلُ مُقَاتِلَتَهُمْ وَتَسْبِي ذُرِّيَّتَهُمْ قَالَ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَضَيْتَ بِحُكْمِ اللَّهِ وَرُبَّمَا قَالَ قَضَيْتَ بِحُكْمِ الْمَلِكِ وَلَمْ يَذْكُرْ ابْنُ الْمُثَنَّى وَرُبَّمَا قَالَ قَضَيْتَ بِحُكْمِ الْمَلِكِ

و حَدَّثَنَا زُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ مَهْدِيٍّ عَنْ شُعْبَةَ بِهَذَا الْإِسْنَادِ وَقَالَ فِي حَدِيثِهِ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَقَدْ حَكَمْتَ فِيهِمْ بِحُكْمِ اللَّهِ وَقَالَ مَرَّةً لَقَدْ حَكَمْتَ بِحُكْمِ الْمَلِكِ

Sabtu, 23 September 2023

Hukum Menghujat Pemerintah

Oleh: Sugiyanta, S.Ag, M.Pd

Selat Bali

Semua kaum Muslimin meyakini bahwa Islam adalah agama yang kaffah atau sempurna. Islam tidak lagi memerlukan perbaikan-perbaikan aturan, Islam tidak pula memerlukan tambahan-tambahan. Kita juga tidak bisa mengurangi aturan-aturan yang ada dalam Islam. Islam telah mengatur segala hal dari perkara kecil (seperti bagaimana masuk toilet, keluar darinya, berangkat tidur, bangun, bagaimana cara masuk rumah dan keluar darinya), hingga perkara-perkara yang kita anggap besar.

Apakah agama ini mengatur hubungan kita dengan pemerintah?

Kalau perkara yang kita anggap kecil dan itu hanya menyangkut diri kita sendiri saja diatur oleh agama ini, pastilah hubungan kita dengan pemerintah yang mengatur negara termasuk diri kita dan seluruh warga negara diatur juga oleh agama kita ini.

Hukum menghujat pemerintah/penguasa

Menghujat adalah mengatakan sesuatu atas seseorang yang dia tidak sukai yang mungkin dapat berupa doa yang jelek, laknat, hinaan, menyebarkan luaskan aib, kekurangan dan kejelekannya, bahkan mungkin mengajak memberontak. Dan semua itu dilakukan secara terbuka seperti yang dilakukan dalam sebagian besar demostrasi (tentang Bahan Bakar Minyak) akhir-akhir ini. Apakah Islam membolehkannya?

Menghina?

سنن الترمذي - (ج 8 / ص 164) حَدَّثَنَا بُنْدَارٌ حَدَّثَنَا أَبُو دَاوُدَ حَدَّثَنَا حُمَيْدُ بْنُ مِهْرَانَ عَنْ سَعْدِ بْنِ أَوْسٍ عَنْ زِيَادِ بْنِ كُسَيْبٍ الْعَدَوِيِّ قَالَ كُنْتُ مَعَ أَبِي بَكْرَةَ تَحْتَ مِنْبَرِ ابْنِ عَامِرٍ وَهُوَ يَخْطُبُ وَعَلَيْهِ ثِيَابٌ رِقَاقٌ فَقَالَ أَبُو بِلَالٍ انْظُرُوا إِلَى أَمِيرِنَا يَلْبَسُ ثِيَابَ الْفُسَّاقِ فَقَالَ أَبُو بَكْرَةَ اسْكُتْ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ مَنْ أَهَانَ سُلْطَانَ اللَّهِ فِي الْأَرْضِ أَهَانَهُ اللَّهُ

Sunan al-Tirmidzi (8/164) – Bundar menceritakan kepada kami, Abu Dawud menceritakan kepada kami, Humaid bin Mihran menceritakan kepada kami dari Sa’di bin Uwais dari Ziyad bin Kusaib al-‘Adawi, ia berkata,

“Dahulu aku bersama Abi Bakrah, Ibn ‘Amir dan ia khutbah dengan memakai pakaian tipis (transparan). Maka Abu Bilal berkata, “Lihatlah pemimpin kita. Ia memakai baju orang fasiq. Maka Abu Bakrah menjawab, “Diamlah. Aku pernah mendengar Nabi shalallahu ‘alaihi wa salam bersabda, “Barangsiapa menghina sulthan (penguasa)-Ku di muka bumi, Allah akan menghinakannya.””

Lalu bagaimana kalau kita membakar gambar foto presiden kita, lalu bagaimana kalau kita menyamakan presiden kita dengan kerbau, lalu bagaimana kalau kita menambah taring pada gambar presiden kita, lalu bagaimana kalau kita menginjak-injak gambar presiden kita?

Membicarakan kejelekkannya?

Sunan at-Tirmidzi (7/178) – Qutaibah menceritakan kepada kami, ‘Abdul ‘Aziz bin Muhammad menceritakan kepada kami dari al-‘Alai bin Abdir-Rahman dari ayahnya dari Abi Hurairah, ia berkata, “

سنن الترمذي - (ج 7 / ص 178) حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ حَدَّثَنَا عَبْدُ الْعَزِيزِ بْنُ مُحَمَّدٍ عَنْ الْعَلَاءِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ عَنْ أَبِيهِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ: قِيلَ يَا رَسُولَ اللَّهِ مَا الْغِيبَةُ قَالَ ذِكْرُكَ أَخَاكَ بِمَا يَكْرَهُ قَالَ أَرَأَيْتَ إِنْ كَانَ فِيهِ مَا أَقُولُ قَالَ إِنْ كَانَ فِيهِ مَا تَقُولُ فَقَدْ اغْتَبْتَهُ وَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِيهِ مَا تَقُولُ فَقَدْ بَهَتَّهُ

Sunan at-Tirmidzi (7/178) – Qutaibah menceritakan kepada kami, ‘Abdul ‘Aziz bin Muhammad menceritakan kepada kami dari al-‘Alai bin Abdir-Rahman dari ayahnya dari Abi Hurairah, ia berkata, “

Dikatakan, “Wahai Rasulullah, apakah ghibah (menggunjing) itu?” Rasulullah menjawab, “Engkau membicarakan saudaramu yang ia membencinya.” (Salah seorang) berkata, “Kalau pembicaraan itu seperti yang aku katakan?” Rasulullah menjawab, “Jika yang dikatakan itu seperti yang aku katakan, maka sungguh engkau ghibah (menggunjing), dan jika pembicaraannya tidak seperti yang engkau katakan, maka sungguh engkau telah berdusta.””

Padahal Allah ta’ala berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ وَلَا تَجَسَّسُوا وَلَا يَغْتَبْ بَعْضُكُمْ بَعْضًا أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَنْ يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ تَوَّابٌ رَحِيمٌ  [الحجرات/12]

Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan prasangka (kecurigaan), karena sebagian dari prasangka itu dosa. Dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang.

Kitab kita jelas-jelas menerangkan jeleknya menggunjing. Menggunjing diibaratkan memakan daging saudaranya yang telah mati.

Lalu bagaimana kita bisa berteriak, “Presiden kita tak becus mengurus negeri ini, pemerintah adalah orang-orang bodoh, presiden kita tak memperhatikan nasib rakyatnya, presiden kita adalah presiden korup?”

Ingin memberi nasehat?

مسند أحمد - (ج 30 / ص 346) مَنْ أَرَادَ أَنْ يَنْصَحَ لِسُلْطَانٍ بِأَمْرٍ فَلَا يُبْدِ لَهُ عَلَانِيَةً وَلَكِنْ لِيَأْخُذْ بِيَدِهِ فَيَخْلُوَ بِهِ فَإِنْ قَبِلَ مِنْهُ فَذَاكَ وَإِلَّا كَانَ قَدْ أَدَّى الَّذِي عَلَيْهِ

Musnad Ahmad (30/346) – Barangsiapa ingin menasehati penguasa tentang suatu urusan, janganlah menampilkannya secara terang-terangan, tetapi hendaknya menggandeng tangannya dan untuk berduaan (menyepi) dengannya. Apabila ia menerima darinya maka itulah (yang diharapkan). Kalau tidak, ia telah melaksanakan tugasnya.

Hadist ini dengan tegas menyatakan bila kita ingin menasehati penguasa hendaknya secara sembunyi-sembunyi jauh dari keramaian dengan cara yang santun.

Lalu bagaimana kalau kita berteriak-teriak di jalanan dengan mengatakan, “Pemerintah harus memperhatikan rakyatnya, pemerintah tidak boleh menaikkan harga BBM karena akan akan menyengsarakan rakyat.”

 

Kamis, 07 September 2023

Biografi KH. Hasyim Asy’ari


Tulisan ini diambil dari laman Tebu Ireng Online Biografi Lengkap KH. M. Hasyim Asy’ari | Tebuireng Online tanpa ada peribahan apapun

Oleh: Qona’atun Putri Rahayu*

KH. Hasyim Asy’ari memiliki nama lengkap Muhammad Hasyim bin Asy’ari bin Abdul Wahid bin Abdul Halim atau yang populer dengan nama Pangeran Benawa bin Abdul Rahman yang juga dikenal dengan julukan Jaka Tingkir (Sultan Hadiwijaya) bin Abdullah bin Abdul Aziz bin Abdul Fatah bin Maulana Ishaq bin Ainul Yakin yang populer dengan sebutan Sunan Giri. Sementara dari jalur ibu adalah Muhammad Hasyim binti Halimah binti Layyinah binti Sihah bin Abdul Jabbar bin Ahmad bin Pangeran Sambo bin Pangeran Benawa bin Jaka Tingkir atau juga dikenal dengan nama Mas Karebet bin Lembu Peteng (Prabu Brawijaya VI). Penyebutan pertama menunjuk pada silsilah keturunan dari jalur bapak, sedangkan yang kedua dari jalur ibu.[1]

Ditilik dari dua silsilah diatas, Kiai Hasyim mewakili dua trah sekaligus, yaitu bangawan jawa dan elit agama (Islam). Dari jalur ayah, bertemu langsung dengan bangsawan muslim Jawa (Sultan Hadiwijaya atau Jaka Tingkir) dan sekaligus elit agama Jawa (Sunan Giri). Sementara dari jalur ibu, masih keturunan langsung Raja Brawijaya VI (Lembu Peteng) yang berlatar belakang bangsawan Hindu Jawa.

Kiai Hasyim dilahirkan dari pasangan Kiai Asy’ari dan Halimah pada hari Selasa kliwon tanggal 14 Februari tahun 1871 M atau bertepatan dengan 12 Dzulqa’dah tahun 1287 H. Tempat kelahiran beliau berada disekitar 2 kilometer ke arah utara dari kota Jombang, tepatnya di Pesantren Gedang. Gedang sendiri merupakan salah satu dusun yang terletak di desa Tambakrejo kecamatan Jombang.

Sejak masa kanak-kanak, Kiai Hasyim hidup dalam lingkungan Pesantren Muslim tradisional Gedang. Keluarga besarnya bukan saja pengelola pesantren, tetapi juga pendiri pesantren yang masih cukup populer hingga saat ini. Ayah Kiai Hasyim (Kiai Asy’ari) merupakan pendiri Pesantren Keras (Jombang). Sedangkan kakeknya dari jalur ibu (Kiai Utsman) dikenal sebagai pendiri dan pengasuh Pesantren Gedang yang pernah menjadi pusat perhatian terutama dari santri-santri Jawa pada akhir abad ke-19. Sementara kakek ibunya yang bernama Kiai Sihah dikenal luas sebagai pendiri dan pengasuh Pesantren Tambak Beras Jombang.

Pada umur lima tahun Kiai Hasyim berpindah dari Gedang ke desa Keras, sebuah desa di sebelah selatan kota Jombang karena mengikuti ayah dan ibunya yang sedang membangun pesantren baru. Di sini, Kiai Hasyim menghabiskan masa kecilnya hingga berumur 15 tahun, sebelum akhirnya, meninggalkan keras dan menjelajahi berbagai pesantren ternama saat itu hingga ke Makkah.

Pada usianya yang ke-21, Kiai Hasyim menikah dengan Nafisah, salah seorang putri Kiai Ya’qub (Siwalan Panji, Sidoarjo). Pernikahan itu dilangsungkan pada tahun 1892 M/1308 H. Tidak lama kemudian, Kiai Hasyim bersama istri dan mertuanya berangkat ke Makkah guna menunaikan ibadah haji. Bersama istrinya, Nafisah, Kiai Hasyim kemudian melanjutkan tinggal di Makkah untuk menuntut ilmu. Tujuh bulan kemudian, Nafisah menninggal dunia setelah melahirkan seorang putra bernama Abdullah. Empat puluh hari kemudian, Abdullah menyusul ibu ke alam baka. Kematian dua orang yang sangat dicintainya itu, membuat Kiai Hasyim sangat terpukul. Kiai Hasyim akhirnya memutuskan tidak berlama-lama di Tanah Suci dan kembali ke Indonesia setahun kemudian.

Setelah lama menduda, Kiai Hasyim menikah lagi dengan seorang gadis anak Kiai Romli dari desa Karangkates (Kediri) bernama Khadijah. Pernikahannya dilakukan sekembalinya dari Makkah pada tahun 1899 M/1325 H. Pernikahannya dengan istri kedua juga tidak bertahan lama, karena dua tahun kemudian (1901), Khadijah meninggal.

Untuk ketiga kalinya, Kiai Hasyim menikah lagi dengan perempuan nama Nafiqah, anak Kiai Ilyas, pengasuh Pesantren Sewulan Madiun. Dan mendapatkan sepuluh orang anak, yaitu: Hannah, Khoiriyah, Aisyah, Azzah, Abdul Wahid, Abdul Hakim, Abdul Karim, Ubaidillah, Mashurah, dan Muhammad Yusuf. Perkawinan Kiai Hasyim dengan Nafiqah juga berhenti di tengah jalan, karena Nafiqah meninggal dunia pada tahun 1920 M.

Sepeninggal Nafiqah, Kiai Hasyim memutuskan menikah lagi dengan Masrurah, putri Kiai Hasan yang juga pengasuh Pesantren Kapurejo, pagu (Kediri). Dari hasil perkawinan keempatnya ini, Kiai Hasyim memiliki empat orang anak: Abdul Qadir, Fatimah, Khadijah dan Muhammad Ya’qub. Perkawinan dengan Masrurah ini merupakan perkawinan terakhir bagi Kiai Hsyim hingga akhir hayatnya.

Riwayat Pendidikan KH. M. Hasyim Asy’ari

Kiai Hasyim dikenal sebagai tokoh yang haus pengetahuan agama (islam). Untuk mengobati kehausannya itu, Kiai Hasyim pergi ke berbagai pondok pesantren terkenal di Jawa Timur saat itu. Tidak hanya itu, Kiai Hasyim juga menghabiskan waktu cukup lama untuk mendalami islam di tanah suci (Makkah dan Madinah). Dapat dikatakan, Kiai Hasyim termasuk dari sekian santri yang benar-benar secara serius menerapkan falsafah Jawa, “Luru ilmu kanti lelaku (mencari ilmu adalah dengan berkelana) atau sambi kelana”           

Karena berlatar belakang keluarga pesantren, Kiai Hasyim secara serius di didik dan dibimbing mendalami pengetahuan islam oleh ayahnya sendiri dalam jangka yang cukup lama mulai dari anak-anak hingga berumur lima belas tahun. Melalu ayahnya, Kiai Hasyim mulai mengenal dan mendalami Tauhid, Tafsir, Hadith, Bahasa Arab dan bidang kajian islam lainnya. Dalam bimbingan ayahnya, kecerdasan Kiai Hasyim cukup menonjol. Belum genap berumur 13 tahun, Kiai Hasyim telah mampu menguasai berbagai bidang kajian islam dan dipercaya membantu ayahnya mengajar santri yang lebih senior.

Belum puas atas pengetahuan yang didapatkan dari ayahnya, Kiai Hasyim mulai menjelajahi beberapa pesantren. Mula-mula, Kiai Hasyim belajar di pesantren Wonokoyo (Probolinggo), lalu berpindah ke pesantren Langitan (Tuban). Merasa belum cukup, Kiai Hasyim melanjutkan pengembaraan intelektualnya ke Pesantren Tenggilis (Surabaya), dan kemudian berpindah ke Pesantren Kademangan (Bangkalan), yang saat itu diasuh oleh Kiai Kholil. Setelah dari pesantren Kiai Kholil, Kiai Hasyim melanjutkan di pesantren Siwalan Panji (Sidoarjo) yang diasuh oleh Kiai Ya’kub dipandang sebagai dua tokoh penting yang berkontribusi membentuk kapasitas intelektual Kiai Hasyim. Selama tiga tahun Kiai Hasyim mendalami berbagai bidang kajian islam, terutama tata bahasa arab, sastra, fiqh dan tasawuf kepada KiaivKholil. Sementara, di bawah bimbingan Kiai Ya’kub, Kiai Hasyim berhasil mendalami Tauhid, fiqh, Adab, Tafsie dan Hadith.

Atas nasihat Kiai Ya’kub, Kiai Hasyim akhirnya meninggalkan tanah air untuk berguru pada ulama-ulama terkenal di Makkah sambal menunaikan ibadah haji untuk kali kedua. Di Makkah, Kiai Hasyim berguru pada syaikh Ahmad Amin al-Attar, Sayyid Sultan bin  Hashim, Sayyid Ahmad bin Hasan al-Attas, Syaikh Sa’id al-Yamani, Sayyid Alawi bin Ahmad al-Saqqaf, Sayyid Abbas Maliki, Sayyid Abdullah al-Zawawi, Syaikh Salih Bafadal, dan Syaikh Sultan Hasim Dagastana, Syaikh Shuayb bin Abd al-Rahman, Syaikh Ibrahim Arab, Syaikh Rahmatullah, Sayyid Alwi al-Saqqaf, Sayyid Abu Bakr Shata al-Dimyati, dan Sayyid Husayn al-Habshi yang saat itu menjadi multi di Makkah. Selain itu, Kiai Hasyim juga menimba pengetahuan dari Syaikh Ahmad Khatib Minankabawi, Syaikh Nawawi al-Bnatani dan Syaikh Mahfuz al-Tirmisi. Tiga nama yang disebut terakhir (Khatib, Nawawi dan Mahfuz) adalah guru besar di Makkah saat itu yang juga memberikan pengaruh signifikan dalam pembentukan intelektual Kiai Hasyim di masa selanjutnya.

Presatasi belajar Kiai Hasyim yang menonjol, membuatnya kemudian juga mmperoleh kepercaaan untuk mengajar di Masjid al-Haram. Beberapa ulama terkenal dari berbagai negara tercatat pernah belajar kepadanya. Di antaranya ialah Syaikh Sa’d  Allah al-Maymani (mufti di Bombay, India), Syaikh Umar Hamdan (ahli hadith di Makkah), al-Shihan Ahmad bin Abdullah (Syiria), KH. Abdul Wahhanb Chasbullah (Tambakberas, Jombang), K. H. R Asnawi (Kudus), KH. Dahlan (Kudus), KH. Bisri Syansuri (Denanyar, Jombang), dan KH. Saleh (Tayu).

Seperti disinggung di atas, Kiai Hasyim pernah mendapatkan bimbingan langsung dari Syaikh Khatib al-Minankabawi dan mengikuti halaqah-halaqah yang di gelar oleh gurunya tersebut. Beberapa sisi tertentu dari pandangan Kiai Hasyim, khususnya mengenai tarekat, diduga kuat juga dipengaruhi oleh pemikiran kritisnya gurunya itu, meskipun pada sisi yang lain Kiai Hasyim berbeda dengannya. Dialektika intelektual antara guru dan murid (Syaikh Khatib Kiai Hasyim) ini sangat menarik.

Sejak masih di Makkah, Kiai Hasyim sudah memiliki ketertarikan tersendiri dengan tarekat. Bahkan , Kiai Hasyim juga sempat mempelajari dan mendapat ijazah tarekat Qadiriyah wa Naqshabandiyah melalui salah melalui salah satu gurunya (Syaikh Mahfuz).

Karya-Karya KH. Hasyim Asy’ari

Adapun di antara beberapa karya KH. Hasyim Asy’ari yang masih bisa ditemui dan menjadi kitab wajib untuk dipelajari di pesantren-pesanttren Nusantara sampai sekarang antara lain:[2]

1.    At-Tibyan fi al-Nahy’an Muqatha’at al-Arham wa al-Aqarib wa al-Ikhwan

Kitab ini selesai ditulis pada hari Senin, 20 Syawal 1260 H dan kemudian diterbitkan oleh Muktabah al-Turats al-Islami, Pesantren Tebuireng. Kitab tersebut berisi penjelasan mengenai pentingnya membangun persaudaraan di tengah perbedaan serta memberikan penjelasan akan bahayanya memutus tali persaudaraan atau silatuhrami.

2.    Muqaddimah al-Qanun al-Asasi li Jam’iyyat Nahdlatul Ulama

Kitab ini berisikan pemikiran KH. Hasyim Asy’ari. Terutama berkaitan dengan NU. Dalam kitab tersebut, KH. Hasyim Asy’ari menguntip beberapa ayat dan hadits yang menjadi landasannya dalam mendirikan NU. Bagi penggerak-penggerak NU, kitab tersebut barangkali dapat dikatakan sebagai bacaan wajib mereka.

3.    Risalah fi Ta’kid al-Akhdzi bi Mazhab al-A’immah al-Arba’ah

Dalam kitab ini, KH. Hasyim Asy’ari tidak sekedar menjelaskan pemikiran empat imam madzhab, yakni Imam Syafi’i, Imam Malik, Imam Abu Hanifah dan Imam Abu Ahmad bin Hanbal. Namun, ia juga memaparkan alasan-alasan kenapa pemikiran di antara keempat imam itu patut kita jadikan rujukan.

4.    Arba’ina Haditsan Tata’allaqu bi Mabadi’ Jam’iyyat Nahdlatul Ulama

Sebagaimana judulnya, kitab ini berisi empat puluh hadits pilihan yang sangat tepat dijadikan pedoman oleh warga NU. Hadits yang dipilih oleh KH. Hasyim Asy’ari terutama berkaitan dengan hadits-hadits yang mejelaskan pentingnya memegang prinsip dalam kehidupan yang penuh dengan rintangan dan hambatan ini.

5.    Adab al-‘Alim wa al-Muta’alim fi ma Yanhaju Ilaih al-Muta’allim fi Maqamati Ta’limihi

Pada dasarnya, kitab ini merupakan resume dari kitab Adab al-Mu’allim karya Syekh Muhamad bin Sahnun, Ta’lim al-Muta’allim fi Thariqat al-Ta’allum karya Syekh Burhanuddin az-Zarnuji, dan Tadzkirat al-Syaml wa al-Mutakalli fi Adab al-Alim wa al-Muta’allim karya Syekh Ibnu Jamaah. Meskipun merupakan bentuk resume dari kitab-kitab tersebut, tetapi dalam kitab tersebut kita dapat mengetahui betapa besar perhatian KH. Hasyim Asy’ari terhadap dunia pendidikan.

6.    Rasalah Ahl aas-Sunnah wa al-Jamaah fi Hadts al-Mauta wa Syuruth as-Sa’ah wa Bayani Mafhum as-Sunnah wa al-Bid’ah

Karya KH. Hasyim Asy’ari yang satu ini barangkali dapat dikatakan sebagai kitab yang relevan untuk dikaji saat ini. Hal tersebut karena di dalamnya banyak membahas tentang bagaimana sebenarnya penegasan antara sunnag dan bid’ah. Secara tidak langsung, kitab tersebut banyak membahas persoalan-persoalan yang bakal muncul di kemudian hari. Terutama saat ini.

Dalam beberapa karya KH. Hasyim Asy’ari tersebut, kita dapat menyimpulkan betapa besar dan luasnya perhatian KH. Hasyim Asy’ari terhadap agama serta betapa mendalamnya pengetahuannya di bidang tersebut. Karya-karya KH. Hasyim Asy’ari itu menjadi bukti tak terbantahkan betapa ia memang merupakan seorang ulama sam mujtahid yang telah banyak mengahasilkan berbagai warisan tak ternilai, baik dari segi keilmuan maupun dari segi keorganisasian seperti halnya NU.

*Mahasiswa Universitas Hasyim Asy’ari Tebuireng Jombang.

[1] Achmad Muhibbin Zuhri, Pemikiran KH. M Hasyim Asy’ari Tentang Ahlu Sunnah Wa Al-Jama’ah, (Surabaya, 2010) hal. 67

[2]Drs. Abdul Hadi, KH. Hasyim Asy’ari Sehimpun Cerita, dan Karya Maha Guru Ulama Nusantara, (Yogyakarta, 2018) hal. 28-32