Sabtu, 05 April 2025

Ngatini, Sukarno, Suminem, Suyati, Tukiman, dan Wakidi (Mendapat Hidayah: Gunung Kelir Menjadi Saksi Pertambahan Saudara Seiman

Gunung Kelir, sebuah wilayah yang tenang di Girimulyo, Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta, menjadi saksi atas sebuah peristiwa yang menggetarkan hati. Dalam suasana penuh kehangatan dan keimanan, enam orang yang sebelumnya memeluk agama Budha dengan mantap mengikrarkan dua kalimat syahadat, menandai awal perjalanan mereka sebagai seorang Muslim.

Peristiwa penuh makna ini terjadi dalam rangkaian Tabligh Akbar yang diselenggarakan oleh Yayasan Baitul Maqdis (YBM) Jakarta, Juni 2016. Dengan bimbingan penuh khidmat dari Ustadz Abdur Rasyid serta perwakilan pengurus YBM Kulon Progo, mereka menjalani proses sakral itu dengan tenang dan penuh haru.

Mereka datang kepada Islam dengan hati yang tulus, tanpa paksaan dan tanpa tekanan. Salah seorang dari mereka bahkan menyatakan bahwa keinginan memeluk Islam telah lama terpendam dalam hatinya, namun baru kali inilah ia benar-benar mantap mengambil langkah besar dalam hidupnya—memeluk agama tauhid, Islam.

Kini, setelah mengikrarkan syahadat, keenam muallaf tersebut akan menjalani proses pembinaan dan pendampingan dari Yayasan Baitul Maqdis perwakilan Kulon Progo. Mereka akan bergabung bersama para muallaf lainnya yang lebih dulu menapaki jalan hidayah, untuk belajar dan memperdalam pemahaman agama Islam secara bertahap dan berkesinambungan.

Semoga Allah Ta’ala senantiasa memberikan keistiqamahan kepada para muallaf ini, menguatkan hati mereka, dan menjadikan mereka sebagai bagian dari barisan kaum muslimin yang tangguh di Gunung Kelir, Kulon Progo. Aamiin ya Rabbal ‘alamin. Sumber: Allahu Akbar Enam Mantan Budha Bersyahadat di Kulon Progo – Yayasan Baitul Maqdis

SMP Muhammadiyah 1 Kalibawang: Pilar Pendidikan Islam di Lereng Menoreh

 


Berdiri sejak 1 Agustus 1956, SMP Muhammadiyah 1 Kalibawang merupakan salah satu tonggak penting dalam sejarah pendidikan Islam di wilayah perbukitan Menoreh. Sekolah ini awalnya bernama SMP Muhammadiyah Dekso, merujuk pada lokasi pendiriannya di wilayah Dekso, Kalurahan Banjararum, Kalibawang, Kulon Progo. Berdirinya sekolah ini didasarkan pada Surat Keputusan Piagam Pendirian Perguruan Muhammadiyah Nomor 3130/M-644/DIY-56/77.

Menjadi Benteng Dakwah Melalui Pendidikan

Pendirian sekolah ini bukan semata untuk tujuan pendidikan umum, tetapi juga sebagai bentuk perjuangan dakwah Muhammadiyah dalam membendung arus kristenisasi yang terjadi di wilayah Banjarasri dan sekitarnya pada masa itu. Sebagaimana tercatat dalam literatur sejarah, misi Katolik yang dipelopori oleh Romo JB Prannthaler SJ saat itu telah menancapkan pengaruh yang cukup luas di kawasan Menoreh. Namun, dengan tekad yang kuat, Muhammadiyah mendirikan sekolah-sekolah untuk melawan arus tersebut. Sekolah pertama yang didirikan adalah SD Muhammadiyah Degan, dan kemudian berkembang hingga berdirinya SMP Muhammadiyah Dekso pada 1956, serta SMEA Muhammadiyah Dekso (kini SMK Muhammadiyah Kalibawang) pada tahun 1971. Di antara pendiri SMP Muhammadiyah Dekso adalah H. Sasrto Sorok (dikenal dengan Haji SS), Dwijosarono, Sir Martowiiarjo), dan R. Marto Wiruno,



Perjalanan Nama dan Identitas

Seiring dengan kebijakan nasional, nama sekolah sempat berubah dari SMP Muhammadiyah Dekso 1 menjadi SLTP Muhammadiyah 1 Kalibawang, sebelum akhirnya kembali menggunakan nama resmi SMP Muhammadiyah 1 Kalibawang berdasarkan SK Majelis Dikdasmen PWM DIY Nomor 06/KET/II.4/B/2010 tanggal 22 November 2010. Nama ini tidak hanya menegaskan identitas, tetapi juga komitmen untuk terus berperan dalam pembangunan pendidikan di wilayah Kalibawang dan sekitarnya.

Visi dan Misi: Membangun Pelajar Pancasila Berkarakter Islami

Dengan visi besar:
"Terwujudnya Pelajar Pancasila Yang Terdidik, Mandiri, Terampil Dan Berkarakter Islami",
SMP Muhammadiyah 1 Kalibawang menjalankan misi pendidikan yang meliputi:

  1. Penguatan iman dan takwa dalam pembelajaran;
  2. Pengembangan kompetensi akademik dan non-akademik;
  3. Peningkatan standar kelulusan;
  4. Profesionalisme tenaga pendidik dan kependidikan;
  5. Pelatihan keterampilan hidup (lifeskill) dan wirausaha;
  6. Penyediaan sarana-prasarana sesuai SNP;
  7. Pembelajaran berbasis IPTEK;
  8. Penguatan budaya bersih dan peduli lingkungan.

Menjadi Pelajar Berkemajuan

SMP Muhammadiyah 1 Kalibawang berkomitmen menciptakan generasi yang tidak hanya cerdas secara akademik, tetapi juga tangguh secara sosial dan spiritual. Kami membentuk pelajar yang berdaya saing global, tetapi tetap teguh pada nilai-nilai lokal dan religius.

Dengan lingkungan belajar yang suportif dan inspiratif, siswa tidak hanya didorong untuk berprestasi, tetapi juga diarahkan untuk memiliki karakter dan kepercayaan diri yang tinggi dalam menghadapi dunia nyata.

Ekskul Berbasis Nilai, Budaya, dan Keterampilan

SMP Muhammadiyah 1 Kalibawang juga membina berbagai kegiatan ekstrakurikuler sebagai sarana pengembangan minat dan bakat siswa, antara lain:

  • Seni Baca Al Qur’an, Tahfizh, dan BTQ, dibimbing langsung oleh para ustadz-ustadzah berprestasi hingga tingkat nasional;
  • Pencak Silat Tapak Suci, sebagai warisan budaya dan penguat karakter melalui bela diri Islami;
  • Kemataraman, sebagai bagian dari pelestarian budaya Mataram Yogyakarta, menanamkan nilai-nilai adat, tradisi, dan tata krama luhur.

Bergabunglah Bersama Kami

SMP Muhammadiyah 1 Kalibawang membuka pintu bagi para siswa dan orang tua yang mendambakan pendidikan dengan akar budaya, dasar agama, dan visi masa depan. Pendidikan bukan hanya tentang nilai rapor, tetapi juga tentang jati diri, keterampilan hidup, dan karakter Islami yang menjadi bekal utama menapaki masa depan.

Mari menjadi bagian dari pelajar berkemajuan.
Mari tumbuh dan berkembang bersama SMP Muhammadiyah 1 Kalibawang.

Kepala Sekolah

Beberapa nama sempat menjadi kepala SMP Muhammadiyah 1 Kalibawang

  • H. Sukardi AR (terakhir purna tugas sebagai Kepala TU Kantor Depag Kulon Progo)
  • Drs. H. Bardi Siswoyo (terakhir purnatigas sebagai guru geografi di SMAN 1 Kalibawang)
  • Drs. Edy Sutarjo
  • Sri Sumarni, S.E., Akt. (sekarang)

Guru

Dari berdirinya hingga sekarang banyak yang pernah menjadi guru SMP ini seperti

  • Gunarto, Drs.,
  • Kasil Subekti, SH. H. (terakhir sebagai Kabag Pemerintah Kabupaten Kulon Progo)
  • Mardisantoso, Drs. H. (terakhir sebagai lurah banjarasri)
  • Nurhayati, Drs. Hj.
  • Paidi, S.Pd
  • Partono, Drs., (terakhir sebagai Kepala SD Negeri)
  • Rekat, BA
  • Rinto Subronto, H, Drs (terakhir sebagai Kasi di Kanwil Kemenag DIY)
  • Sarjo, Drs., H. (terakhir sebagai guru di SMAN 1 Wates)
  • Subiyantoro, Prof., Dr., Drs, H., M.Ag (terakhir sebagai dosen Paskasarjana UIN Sunan Kalijaga)
  • Sugiyono (terakhir sebagai perangkat desa Banjarasri)
  • Sukirno, BcHK (terakhir sebagai gur SMP Muhammadiyah Nanggulan)
  • Sumanto, SH., (terakhir sebagai Kepala Kantor Pembentu Bupati Selatan)
  • Sunardi (terakhir sebagai Ketua PAC NU Nanggulan)
  • Sunardi, Drs.
  • Supadmi, S.Pd
  • Suwarto, Drs., (yerakhir sebagai Kepala SMA Muhammadiyah Kenteng)
  • Triyanto, S.Pd (terakhir sebagai guru SMKN Girimulyo)
  • Tugiyati, S.Pd
  • Ujang Miskun, Drs
  • UKhti Jam’iati, Drs. Hj., M.Ag (terakhir sebagai Pengawas MA Kemenag Kulon Progo)
  • Wagimin, S.Pd
  • Wakijo (Terakhir sebagai guru agama di SDN)
  • Wakijo, Drs.,
  • Warsono Drs. (terakhir sebagai Kepala SD Muhammadiyah di Yoguakarta)

Ferenc Raymond Sahetapy

 


Ferenc Raymond Sahetapy (1 Januari 1957 – 1 April 2025) adalah seorang aktor dan penyanyi Indonesia. Dikenal luas sebagai salah satu pemeran paling disegani di generasinya, Ray kerap membawakan peran-peran pria kompleks dengan karakter yang dalam dan penuh nuansa. Kariernya di dunia seni peran membentang lebih dari empat dekade, dan penampilannya dalam film-film drama seperti Ponirah Terpidana (1983), Tatkala Mimpi Berakhir (1987), dan Jangan Bilang Siapa-Siapa (1990) dianggap sebagai yang paling mengesankan dalam kariernya. Ray menerima tujuh nominasi Piala Citra di ajang Festival Film Indonesia, enam di antaranya dalam kategori Aktor Terbaik—sebuah rekor untuk nominasi terbanyak dalam kategori tersebut tanpa kemenangan.

Kehidupan Awal

Ray menghabiskan masa kecilnya di Panti Asuhan Yatim Warga Indonesia, Surabaya. Sejak remaja, ia sudah menaruh minat besar pada dunia akting. Untuk mewujudkan cita-citanya, ia melanjutkan studi ke Institut Kesenian Jakarta pada tahun 1977, satu angkatan dengan Deddy Mizwar dan Didik Nini Thowok.

Karier

Ray memulai debut filmnya lewat Gadis (1980) yang disutradarai oleh Nya’ Abbas Akup. Di film inilah ia bertemu dengan penyanyi dan aktris Dewi Yull, yang kemudian menjadi istrinya.

Pada tahun 1985, Ray mencoba peruntungan di dunia tarik suara dan merilis album solo berjudul Say.... Dua singel utamanya, "Satu Kenyataan Lagi" dan "Say…", dinyanyikannya berduet dengan Dewi Yull dan cukup mendapat sambutan.

Karier filmnya terus berkembang. Ia dinominasikan sebagai Aktor Terbaik dalam Festival Film Indonesia 1989 lewat Noesa Penida (1988). Selain itu, ia tercatat menerima nominasi FFI atas perannya dalam Ponirah Terpidana (1984), Secangkir Kopi Pahit (1985), Kerikil-Kerikil Tajam (1985), Opera Jakarta (1986), Tatkala Mimpi Berakhir (1988), dan Jangan Bilang Siapa-Siapa (1990).

Di masa vakumnya industri perfilman nasional, Ray tetap aktif di dunia seni peran. Ia mendirikan sanggar teater di pinggiran kota dan membentuk komunitas seni. Lewat sanggar ini pula, Ray pernah mengemukakan ide kontroversial tentang perlunya mengganti nama "Republik Indonesia" menjadi "Republik Nusantara".

Ray kembali ke layar lebar pada 2006 lewat film Dunia Mereka. Di tahun yang sama, ia terpilih sebagai salah satu ketua dalam Kongres Persatuan Artis Film Indonesia.

Kehidupan Pribadi

Ray menikah dengan Dewi Yull pada 16 Juni 1981. Pernikahan itu sempat menjadi sorotan karena perbedaan agama dan tidak mendapat restu dari orang tua Dewi. Tak lama setelah pernikahan, Ray memutuskan menjadi mualaf pada tahun yang sama. Pasangan ini dikaruniai empat anak: Giscka Putri Agustina Sahetapy (1982–2010), Rama Putra Sahetapy (1991), Surya Sahetapy (1993), dan Muhammad Raya Sahetapy (2001).

Namun, pernikahan mereka berakhir pada 24 Agustus 2004. Dewi Yull menggugat cerai Ray setelah menolak keinginan Ray untuk berpoligami.

Pada Oktober 2004, Ray menikah lagi dengan Sri Respatini Kusumastuti, seorang pengusaha kafe dan katering yang juga pernah mengajar di Fakultas Seni Pertunjukan Institut Kesenian Jakarta. Dari hubungan sebelumnya, Sri memiliki dua anak.

Ray juga dikenal sebagai pemimpin organisasi Perhimpunan Seniman Nusantara, yang aktif memajukan dunia seni budaya Indonesia.

Kematian

Ray Sahetapy meninggal dunia pada 1 April 2025 di usia 68 tahun akibat penyakit stroke yang telah lama dideritanya.

 

Paras Kampungku

Ngatini, Sukarno, Suminem, Suyati, Tukiman, dan Wakidi (Mendapat Hidayah: Gunung Kelir Menjadi Saksi Pertambahan Saudara Seiman

Gunung Kelir, sebuah wilayah yang tenang di Girimulyo, Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta, menjadi saksi atas sebuah peristiwa yang men...