Nama
Sultan Hadiwijaya atau Adiwijaya mempunyai nama asli Mas Karebet.
Ia sering juka disebut Jaka Tingkir.
Ayah dan Kakeknya
Sultan Hadiwijaya adalah anak dari Ki Kebo Kenanga anak Ki Ageng
Pengging Sepuh atau Muhammad Kabungsuan, atau Jaka Sengsara, atau
Andayaningrat, anak Syeikh Jumadil Kubra atau Jamaluddin Akbar al-Husein
Selain menikah dengan ibu Sultan Hadiwijaya, ayahnya juga menikahi
Nyai Ratu Mandoko anak Sunan Kalijaga, dan Syarifah Zainab anak Syeik Siti
Jenar.
Kakeknya, Andayaninrgrat, adalah suami Ratu Pembayun anak Prabu Brawijaya V, raja Majapahit.
Masa Anak-anak hingga remaja
Sultan Hadiwijaya lahir pada 18 Jumadil Akhir tahun Dal, mangsa
VIII menjelang subuh. Ia diberi nama Mas Karebet, karena ia lahir saat ayahnya,
Ki Ageng Kebo Kenanga atau Ki Ageng Pengging sedang menggelar pertunjukan
wayang beber dengan dalang Ki Ageng Tingkir. Suara wayang beber yang “kemrebet”
karena tertiup angina membuat bayi (Sultan Hadiwijaya) diberi nama Mas Karebet.
Ki Ageng Kebo Kenanga dan Ki Ageng Tingkir adalah murid-murid Syeikh Siti Jenar. Saat pulang dari rumah ayah Sultan Hadiwijaya, Ki Ageng Tingkir jatuh sakit dan meninggal. Ki Ageng Pengging, sepuluh tahun kemudian, dihukum mati karena mengikuti pendapat Syeikh Siti Jenar, dan dianggap memberontak terhadap Kerajaan Demak. Sebagai pelaksana hukuman mati adalah Sunan Kudus. Karenanya, pada masa mudanya, ia dipanggil Jaka Tingkir. Ia menjadi pemuda yang gagah, tampan, dan menguasai bela diri.
Guru-Gurunya
Guru utaanya adalah ayahnya sendiri, Ki Ageng Kebo Kenanga,
ayahnya, dan Muhammad Kabungsuan (Ki Ageng Penggih Sepuh) kakeknya, yang
menjadi penguasa Boyolali Kuna. Gurunya yang lain adalah Sunan Kalijaga, KI
Ageng Selo. Ia juga dipersaudarakan dengan Ki Juru Martani, Ki Ageng Pemanahan,
dan Ki Panjawi. Ia juga berguru kepada pakdenya, Ki Ageng Banyubiru atau Ki
Keba Kanigara. Di Banyubiru ini ia seperguran dengan Mas Manca, Mas Wila dan Ki
Wuragil.
Mengabdi di Kerajaan Demak Bintara
Saat itu, yang sedang bertahta di Demak adalah Sultan Trenggana.
Sampai di Demak, Sultan Hadiwijaya (Mas Karebet, juga Jaka Tingkir,) tingal di
rumah saudara Nyi Ageng Tingkir, ibu asuhnya, Kyai Gandamustaka, seorang marbot
Masjid Demak, yang berpangkat lurah ganjur.
Diangkat Menjadi Kepala Prajurit Demak
Suatu kali, di Masjid Demak, yang saat itu dikelilingi kolam cukup
lebar, Sultan Trenggana akan mengerjakan shalat. Mas Karebet berdiri di tepian
kolam, Sultan Trenggana akan melewati tempat berdiri Mas Karebet. Pamannya
berteriak memintanya segera menyingkir. Tidak ada jalan menyingkir baginya,
selain melompati kolam yang lebar tersebut, dan Mas Karebet melompatinya dan
berhasil. Sultan Trenggana terkesima dan mununjuknya sebagai kepala prajurit
Demak, dan mendapat pangkat lurah wuratamtama.
Dipecat
Alkisah,
suatu hari Jaka Tingkir sebagai lurah wiratamtama bertugas menyeleksi
penerimaan prajurit baru. Ada seorang pelamar bernama Dadungawuk yang sombong
dan suka pamer. Mas Karebet menguji kesaktiannya dan Dadungawuk tewas. Karena
kecerobhannya, Jaka Tingkir pun dipecat dari ketentaraan dan diusir dari Demak.
Tetapi rupanya cerita ini hanya sebuah versi kiasan dari kenakalannya. Sultan
Trenggana mempunyai seorang puteri cantik bernama puteri Cempaka. Mas Karebet
menggodanya dan menaklukkan hatinya secara diam-diam. Ia pun menjalin hubungan
terlarang. Hal ini diketahui oleh penguasa Demak. Ia pun dipecat dan diusir
dari Demak.
Dipanggil
lagi
Suatu
kali, Sultan Trenggana sekeluarga sedang berwisata di Gunung Prawoto. Jaka
Tingkir yang dendam pun menggangu mereka. ia melepas seekor kerbau, Kebo Danu.
Kerbau Danu sudah diberi tanah pada telinganya, sehingga kerbau merasa tidak
nyaman dan mengamuk dan menyerang pesanggrahan raja. Tak ada prajurit yang bisa
mengatasinya. Sultan Trenggana minta pengawalnya untuk mencari Mas Karebet yang
diharapkan dapat menaklukan kerbau tersebut. Kerbau itu dengan mudah
dibunuhnya. Sultan Trenggana mengangkat kembali Jaka Tingkir menjadi lurah
wiratamtama.
Menjadi
Menantu Sultan Trenggana dan Diangkat Menjadi Adipati Pajang
Karir
Mas Karebet pun cemerlang, akhirnya ia dinikahkan dengan Ratu Mas Cempaka, anak
Sultan Trenggana. Ia pun diangkat menjadi Adipati Pajang bergelar Adipati
Hadiwijaya. Pajang kini adalah suatu daerah di Surakarta.
Perselisihannya dengan Arya Penangsang
Kisah diawali ketika Pati Unus, Raja pengganti Raden Patah, meninggal
karena pertempuran dengan Portugis di selat Malaka. Ada dua orang yang
berpotensi sebagai pengganti Pati Unus. Pertama adalah Pangeran Surawiyata,
atau Raden Kikin, ayah Arya Penangsang. Kedua adalah Trenggana, yang lebih
muda, ayah Pangeran Mukmin (Sunan Prawoto). Untuk memuluskan Trenggana menjadi
Raja Demak, menggantikan Pati Unus, Pangeran Mukmin membunuh Pangeran
Surawiyata, sepulang dari shalat Jumat. Arya Penangsang pun ia coba bunuh dan
menghanyutkannya di sungai, tetapi Sunan Kudus menyellamatkannya. Ini membuat
Arya Penangsang dendam kepada keluarga Sultan Trenggana.
Suatu kali, Sultan Trenggana bepergian ke Pasuruan untuk memperluas negera dan meninggal di sana. Maka Raden Mukmin (Sunan Prawoto) diangkat menjadi Raja Demak. Kerajaan Demak pun dipindah dari Bintoro ke Prawoto. Raden Mukmin bukan ahli politik, bukan ahli negara. Demak menjadi lemah. Arya Penangsang mengetahui hal ini. Ia mengutus utusan untuk membunuh keluarga Sultan Trenggana. Sunan Prawoto berhasil dibunuh, juga Adipati Jepara (Ratu Kalinyamat, adik ipar Sunan Prawoto) pun dibunuhnya. Penguasa Pajang, Hadiwijaya pun dicoba dibunuhnya tetapi gagal. Dengan terbunuhnya Sunan Prawoto, Arya Penangsang menjadi penguasa Demak. Pusat pemerintahan Demak ia pindahkan dari Prawoto ke Jipang tempat Arya Penangsang menjadi Adipati menggantikan ayahnya, Raden Kikin. Jadilah Arya Penangsang menjadi raja Demak Jipang.
Usahanya Membunuh Arya Penangsang dan Menjadi Raja Demak
Hadiwijaya
tidak mau memerangi Arya Penangsang secara
langsung karena mereka sama anggota keluarga Demak dan
merupakan saudara seperguruan sama-sama murid Sunan Kudus. Hadiwijaya pun
mengadakan sayembara. Barangsiapa dapat membunuh Aryo Penangsang akan mendapatkan
tanah Pati dan mentaok/Mataram sebagai hadiah.
Sayembara
diikuti dua cucu Ki Ageng Sela,
yaitu Ki Ageng Pemanahan dan
Ki Panjawi. Dalam perang itu, Ki Juru Martani (kakak ipar Ki Ageng Pemanahan)
berhasil menyusun siasat cerdik sehingga sehingga Sutawijaya (Anak Ki Ageng
Pemanahan) dapat menewaskan Arya Penangsang. Dengan kematian Arya Penangsang,
Ki Ageng Sela mendapat hadiah tanah Pati, dan Ki Ageng Pemanahan mendapat
hadiah Mentaok (Yogyakarta, Mataram). Hadiwijaya pun naik tahta Demak, bergelar
Sulan Hadiwijaya, dan memindahkan pemerintahan dari Jipang ke Pajang, Ia
bertahta sebagai raja Demak Pajang.
Perluasan Wilayah
Saat
menjadi Sultan, kekuasaan Adiwijaya hanya mencakup wilayah Pajang, Blora,
Pati, Jepara (Jawa Tengah) saja, karena sepeninggal Sultan Trenggana,
banyak daerah melepaskan diri. Negeri-negeri di Jawa Timur yang tergabung dalam
Persekutuan Adipati Bang Wetan saat itu dipimpin oleh Panji Wiryakrama bupati Surabaya.
Persekutuan adipati tersebut sedang menghadapi ancaman invansi dari berbagai
penjuru, yaitu Pajang, Madura, dan Blambangan.
Pada tahun 1568 Sunan Prapen penguasa Giri Kedaton menjadi mediator
pertemuan antara Adiwijaya raja Pajang di atas negeri yang mereka pimpin.
Sebagai tanda ikatan politik, Panji Wiryakrama diambil sebagai menantu
Adiwijaya. Selain itu, Adiwijaya juga berhasil menundukkan Madura setelah penguasa pulau itu
yang bernama Raden Pratanu bergelar Panembahan Lemah Duwur Arosbaya menjadi
menantunya.
Dalam pertemuan tahun 1568 itu, Sunan Prapen untuk pertama kalinya
berjumpa dengan Ki Ageng
Pemanahan dan untuk kedua kalinya meramalkan bahwa Pajang akan
ditaklukkan Mataram melalui keturunan Ki Ageng
tersebut.
Pemberontakan Sutowijoyo
Sutawijaya,
putra Ki Ageng
Pemanahan, adalah anak angkat Sultan Hadiwijoyo. Sepeninggal Ki
Ageng Pemanahan, 1575 M, Sutawijaya menjadi
penguasa baru di Mentaok, yang kemudian berubah nama menjadi Mataram
(Keraton, kini ada di Kota Gede Yogyakarta) dan diberi hak untuk tidak
menghadap selama setahun penuh.
Waktu
setahun berlalu dan Sutawijaya tidak
datang menghadap. Adiwijaya mengirim Ngabehi Wilamarta dan Ngabehi Wuragil
untuk menanyakan kesetiaan Mataram. Mereka menemukan Sutawijaya bersikap kurang sopan dan
terkesan ingin memberontak. Namun kedua pejabat senior itu pandai menenangkan
hati Adiwijaya melalui laporan mereka yang disampaikan secara halus.
Tahun
demi tahun berlalu. Adiwijaya mendengar kemajuan Mataram semakin
pesat. Ia pun kembali mengirim utusan untuk menyelidiki kesetiaan Sutawijaya. Kali ini yang berangkat adalah Pangeran Benawa (putra mahkota), Arya
Pamalad (menantu yang menjadi adipati Tuban),
serta Patih Mancanegara. Ketiganya dijamu dengan pesta oleh Sutawijaya. Di tengah keramaian pesta,
putra sulung Sutawijaya yang
bernama Raden Rangga membunuh seorang prajurit Tuban yang
didesak Arya Pamalad. Arya Pamalad sendiri sejak awal kurang suka dengan Sutawijaya sekeluarga.
Maka
sesampainya di Pajang, Arya Pamalad
melaporkan keburukan Sutawijaya, sedangkan Pangeran Benawa menjelaskan kalau
peristiwa pembunuhan tersebut hanya kecelakaan saja. Adiwijaya menerima kedua
laporan itu dan berusaha menahan diri.
Pada
tahun 1582 seorang keponakan Sutawijaya yang tinggal di Pajang,
bernama Raden Pabelan dihukum mati karena berani menyusup ke dalam keputrian
menemui Ratu Sekar Kedaton (putri bungsu Adiwijaya). Ayah Pabelan yang bernama
Tumenggung Mayang dijatuhi hukuman buang karena diduga ikut membantu anaknya.
Ibu
Raden Pabelan yang merupakan adik perempuan Sutawijaya meminta bantuan ke Mataram. Sutawijaya pun mengirim utusan untuk
merebut Tumenggung Mayang dalam perjalanan pembuangannya ke Semarang
(Sumber: https://id.wikipedia.org/wiki/Adiwijaya_dari_Pajang)
2 komentar:
Tulisan yang apik
Apik
Posting Komentar