Pengikut

Sabtu, 03 Juni 2023

Sultan Hadiwijaya Raja ke-6 Demak (Pajang)

Nama

Sultan Hadiwijaya atau Adiwijaya mempunyai nama asli Mas Karebet. Ia sering juka disebut Jaka Tingkir.

Ayah dan Kakeknya

Sultan Hadiwijaya adalah anak dari Ki Kebo Kenanga anak Ki Ageng Pengging Sepuh atau Muhammad Kabungsuan, atau Jaka Sengsara, atau Andayaningrat, anak Syeikh Jumadil Kubra atau Jamaluddin Akbar al-Husein

Selain menikah dengan ibu Sultan Hadiwijaya, ayahnya juga menikahi Nyai Ratu Mandoko anak Sunan Kalijaga, dan Syarifah Zainab anak Syeik Siti Jenar.

Kakeknya, Andayaninrgrat, adalah suami Ratu Pembayun anak Prabu Brawijaya V, raja Majapahit. 

Masa Anak-anak hingga remaja

Sultan Hadiwijaya lahir pada 18 Jumadil Akhir tahun Dal, mangsa VIII menjelang subuh. Ia diberi nama Mas Karebet, karena ia lahir saat ayahnya, Ki Ageng Kebo Kenanga atau Ki Ageng Pengging sedang menggelar pertunjukan wayang beber dengan dalang Ki Ageng Tingkir. Suara wayang beber yang “kemrebet” karena tertiup angina membuat bayi (Sultan Hadiwijaya) diberi nama Mas Karebet.

Ki Ageng Kebo Kenanga dan Ki Ageng Tingkir adalah murid-murid Syeikh Siti Jenar. Saat pulang dari rumah ayah Sultan Hadiwijaya, Ki Ageng Tingkir jatuh sakit dan meninggal. Ki Ageng Pengging, sepuluh tahun kemudian, dihukum mati karena  mengikuti pendapat Syeikh Siti Jenar, dan dianggap memberontak terhadap Kerajaan Demak. Sebagai pelaksana hukuman mati adalah Sunan Kudus. Karenanya, pada masa mudanya, ia dipanggil Jaka Tingkir. Ia menjadi pemuda yang gagah, tampan, dan menguasai bela diri.

Guru-Gurunya

Guru utaanya adalah ayahnya sendiri, Ki Ageng Kebo Kenanga, ayahnya, dan Muhammad Kabungsuan (Ki Ageng Penggih Sepuh) kakeknya, yang menjadi penguasa Boyolali Kuna. Gurunya yang lain adalah Sunan Kalijaga, KI Ageng Selo. Ia juga dipersaudarakan dengan Ki Juru Martani, Ki Ageng Pemanahan, dan Ki Panjawi. Ia juga berguru kepada pakdenya, Ki Ageng Banyubiru atau Ki Keba Kanigara. Di Banyubiru ini ia seperguran dengan Mas Manca, Mas Wila dan Ki Wuragil.

Mengabdi di Kerajaan Demak Bintara

Saat itu, yang sedang bertahta di Demak adalah Sultan Trenggana. Sampai di Demak, Sultan Hadiwijaya (Mas Karebet, juga Jaka Tingkir,) tingal di rumah saudara Nyi Ageng Tingkir, ibu asuhnya, Kyai Gandamustaka, seorang marbot Masjid Demak, yang berpangkat lurah ganjur.

Diangkat Menjadi Kepala Prajurit Demak

Suatu kali, di Masjid Demak, yang saat itu dikelilingi kolam cukup lebar, Sultan Trenggana akan mengerjakan shalat. Mas Karebet berdiri di tepian kolam, Sultan Trenggana akan melewati tempat berdiri Mas Karebet. Pamannya berteriak memintanya segera menyingkir. Tidak ada jalan menyingkir baginya, selain melompati kolam yang lebar tersebut, dan Mas Karebet melompatinya dan berhasil. Sultan Trenggana terkesima dan mununjuknya sebagai kepala prajurit Demak, dan mendapat pangkat lurah wuratamtama.

Dipecat

Alkisah, suatu hari Jaka Tingkir sebagai lurah wiratamtama bertugas menyeleksi penerimaan prajurit baru. Ada seorang pelamar bernama Dadungawuk yang sombong dan suka pamer. Mas Karebet menguji kesaktiannya dan Dadungawuk tewas. Karena kecerobhannya, Jaka Tingkir pun dipecat dari ketentaraan dan diusir dari Demak. Tetapi rupanya cerita ini hanya sebuah versi kiasan dari kenakalannya. Sultan Trenggana mempunyai seorang puteri cantik bernama puteri Cempaka. Mas Karebet menggodanya dan menaklukkan hatinya secara diam-diam. Ia pun menjalin hubungan terlarang. Hal ini diketahui oleh penguasa Demak. Ia pun dipecat dan diusir dari Demak.

 

Dipanggil lagi

 

Suatu kali, Sultan Trenggana sekeluarga sedang berwisata di Gunung Prawoto. Jaka Tingkir yang dendam pun menggangu mereka. ia melepas seekor kerbau, Kebo Danu. Kerbau Danu sudah diberi tanah pada telinganya, sehingga kerbau merasa tidak nyaman dan mengamuk dan menyerang pesanggrahan raja. Tak ada prajurit yang bisa mengatasinya. Sultan Trenggana minta pengawalnya untuk mencari Mas Karebet yang diharapkan dapat menaklukan kerbau tersebut. Kerbau itu dengan mudah dibunuhnya. Sultan Trenggana mengangkat kembali Jaka Tingkir menjadi lurah wiratamtama.

 

Menjadi Menantu Sultan Trenggana dan Diangkat Menjadi Adipati Pajang

Karir Mas Karebet pun cemerlang, akhirnya ia dinikahkan dengan Ratu Mas Cempaka, anak Sultan Trenggana. Ia pun diangkat menjadi Adipati Pajang bergelar Adipati Hadiwijaya. Pajang kini adalah suatu daerah di Surakarta.


Perselisihannya dengan Arya Penangsang

Kisah diawali ketika Pati Unus, Raja pengganti Raden Patah, meninggal karena pertempuran dengan Portugis di selat Malaka. Ada dua orang yang berpotensi sebagai pengganti Pati Unus. Pertama adalah Pangeran Surawiyata, atau Raden Kikin, ayah Arya Penangsang. Kedua adalah Trenggana, yang lebih muda, ayah Pangeran Mukmin (Sunan Prawoto). Untuk memuluskan Trenggana menjadi Raja Demak, menggantikan Pati Unus, Pangeran Mukmin membunuh Pangeran Surawiyata, sepulang dari shalat Jumat. Arya Penangsang pun ia coba bunuh dan menghanyutkannya di sungai, tetapi Sunan Kudus menyellamatkannya. Ini membuat Arya Penangsang dendam kepada keluarga Sultan Trenggana.

Suatu kali, Sultan Trenggana bepergian ke Pasuruan untuk memperluas negera dan meninggal di sana. Maka Raden Mukmin (Sunan Prawoto) diangkat menjadi Raja Demak. Kerajaan Demak pun dipindah dari Bintoro ke Prawoto. Raden Mukmin bukan ahli politik, bukan ahli negara. Demak menjadi lemah. Arya Penangsang mengetahui hal ini. Ia mengutus utusan untuk membunuh keluarga Sultan Trenggana. Sunan Prawoto berhasil dibunuh, juga Adipati Jepara (Ratu Kalinyamat, adik ipar Sunan Prawoto) pun dibunuhnya. Penguasa Pajang, Hadiwijaya pun dicoba dibunuhnya tetapi gagal. Dengan terbunuhnya Sunan Prawoto, Arya Penangsang menjadi penguasa Demak.  Pusat pemerintahan Demak ia pindahkan dari Prawoto ke Jipang tempat Arya Penangsang menjadi Adipati menggantikan ayahnya, Raden Kikin. Jadilah Arya Penangsang menjadi raja Demak Jipang.

Usahanya Membunuh Arya Penangsang dan Menjadi Raja Demak

Hadiwijaya tidak mau memerangi Arya Penangsang secara langsung karena mereka sama anggota keluarga Demak dan merupakan saudara seperguruan sama-sama murid Sunan Kudus. Hadiwijaya pun mengadakan sayembara. Barangsiapa dapat membunuh Aryo Penangsang akan mendapatkan tanah Pati dan mentaok/Mataram sebagai hadiah.

Sayembara diikuti dua cucu Ki Ageng Sela, yaitu Ki Ageng Pemanahan dan Ki Panjawi. Dalam perang itu, Ki Juru Martani (kakak ipar Ki Ageng Pemanahan) berhasil menyusun siasat cerdik sehingga sehingga Sutawijaya (Anak Ki Ageng Pemanahan) dapat menewaskan Arya Penangsang. Dengan kematian Arya Penangsang, Ki Ageng Sela mendapat hadiah tanah Pati, dan Ki Ageng Pemanahan mendapat hadiah Mentaok (Yogyakarta, Mataram). Hadiwijaya pun naik tahta Demak, bergelar Sulan Hadiwijaya, dan memindahkan pemerintahan dari Jipang ke Pajang, Ia bertahta sebagai raja Demak Pajang.


Perluasan Wilayah

 

Saat menjadi Sultan, kekuasaan Adiwijaya hanya mencakup wilayah Pajang, Blora, Pati, Jepara (Jawa Tengah) saja, karena sepeninggal Sultan Trenggana, banyak daerah melepaskan diri. Negeri-negeri di Jawa Timur yang tergabung dalam Persekutuan Adipati Bang Wetan saat itu dipimpin oleh Panji Wiryakrama bupati Surabaya. Persekutuan adipati tersebut sedang menghadapi ancaman invansi dari berbagai penjuru, yaitu PajangMadura, dan Blambangan.

Pada tahun 1568 Sunan Prapen penguasa Giri Kedaton menjadi mediator pertemuan antara Adiwijaya raja Pajang di atas negeri yang mereka pimpin. Sebagai tanda ikatan politik, Panji Wiryakrama diambil sebagai menantu Adiwijaya. Selain itu, Adiwijaya juga berhasil menundukkan Madura setelah penguasa pulau itu yang bernama Raden Pratanu bergelar Panembahan Lemah Duwur Arosbaya menjadi menantunya.

Dalam pertemuan tahun 1568 itu, Sunan Prapen untuk pertama kalinya berjumpa dengan Ki Ageng Pemanahan dan untuk kedua kalinya meramalkan bahwa Pajang akan ditaklukkan Mataram melalui keturunan Ki Ageng tersebut.


Pemberontakan Sutowijoyo


Sutawijaya, putra Ki Ageng Pemanahan, adalah anak angkat Sultan Hadiwijoyo. Sepeninggal Ki Ageng Pemanahan, 1575 M, Sutawijaya menjadi penguasa baru di Mentaok, yang kemudian berubah nama menjadi Mataram (Keraton, kini ada di Kota Gede Yogyakarta) dan diberi hak untuk tidak menghadap selama setahun penuh.

Waktu setahun berlalu dan Sutawijaya tidak datang menghadap. Adiwijaya mengirim Ngabehi Wilamarta dan Ngabehi Wuragil untuk menanyakan kesetiaan Mataram. Mereka menemukan Sutawijaya bersikap kurang sopan dan terkesan ingin memberontak. Namun kedua pejabat senior itu pandai menenangkan hati Adiwijaya melalui laporan mereka yang disampaikan secara halus.

Tahun demi tahun berlalu. Adiwijaya mendengar kemajuan Mataram semakin pesat. Ia pun kembali mengirim utusan untuk menyelidiki kesetiaan Sutawijaya. Kali ini yang berangkat adalah Pangeran Benawa (putra mahkota), Arya Pamalad (menantu yang menjadi adipati Tuban), serta Patih Mancanegara. Ketiganya dijamu dengan pesta oleh Sutawijaya. Di tengah keramaian pesta, putra sulung Sutawijaya yang bernama Raden Rangga membunuh seorang prajurit Tuban yang didesak Arya Pamalad. Arya Pamalad sendiri sejak awal kurang suka dengan Sutawijaya sekeluarga.

Maka sesampainya di Pajang, Arya Pamalad melaporkan keburukan Sutawijaya, sedangkan Pangeran Benawa menjelaskan kalau peristiwa pembunuhan tersebut hanya kecelakaan saja. Adiwijaya menerima kedua laporan itu dan berusaha menahan diri.

Pada tahun 1582 seorang keponakan Sutawijaya yang tinggal di Pajang, bernama Raden Pabelan dihukum mati karena berani menyusup ke dalam keputrian menemui Ratu Sekar Kedaton (putri bungsu Adiwijaya). Ayah Pabelan yang bernama Tumenggung Mayang dijatuhi hukuman buang karena diduga ikut membantu anaknya.

Ibu Raden Pabelan yang merupakan adik perempuan Sutawijaya meminta bantuan ke MataramSutawijaya pun mengirim utusan untuk merebut Tumenggung Mayang dalam perjalanan pembuangannya ke Semarang (Sumber: https://id.wikipedia.org/wiki/Adiwijaya_dari_Pajang)