Ki Ageng Pemanahan, Ki Penjawai, dan Ki Juru Mertani
Mereka berasal dari dusun
Sela (sekarang di Grobokan), tempat yang diduga kerajaan Mataram Kuno dulu
berada. Mereka keturunan raja Majapahit,
Bhre Kertabumi, yaitu Bondan Kejawan Getas Pandawa. Getas Pandawa ini saudara
dari Nawangwulan, dan Nawangsih. Ki Ageng Sela, kakek Ki Ageng Pemanahan,
mempunyai enam putrid an 1 putra, yang bungsu, bernama Ki Ageng Henis (Enis),
yang mempunyai anak bernama Ki Ageng Pemanahan. Ki Ageng Pemanahan dinikahkan
dengan Sabinah, putri Nyai Ageng Saba, kakak Ki Ageng Henis. Ki Ageng Henis
mengadopsi anak angkat, Ki Penjawi, kemenakan misannya. Adapun Juru Mertani
adalah anak keponakan dan kakak menantu Ki Ageng Henis.
Ki Ageng Sela si Penangkap Petir
Alkisah, sesudah Raja Demak kedua, Dipati Unus wafat, dan diadakan prosesi kepemimpinan di Demak, Ki Ageng Sela tersambar petir tetapi tidak terluka, bahkan dapat menangkapnya dan menyerahkan kepada para wali yang hadir. Ia juga terkenal sebagai cerdik pandai, guru (agama dan kejawen), dalang, seniman, petani kaya (petani gede), tani mukmin (salih). Sebagai dalang dan seniman, ia menciptakan suluk pepali dalam bentuk macapat yang berisi ajaran pandangan hidup kejawen tetapi lebih mengedepankan tauhid dalam agama Islam.
Diangkat Menjadi Lurah
Wiratamtama
Ki Pemanahan, atau Ki Ageng Pemanahan berguru kepada kakeknya, Ki Ageng Sela, bersama adik angkatnya Ki Penjawi. Sultan Hadiwijaya, adipati atau raja Pajang, juga murid Ki Ageng Sela. Oleh karena itu, antara Sultan Hadiwijaya, Ki Ageng Pemanahan, dan Ki Penjawai berhubungan akrab seperti saudara. Saat Sultan Hadiwijaya menjadi adipati Pajang, Ki Ageng Pemanahan dan Ki Penjawai diangkat menjadi Lurah Wiratamtama di Pajang.
Mendapat Tugas Membunuh Arya Penangsang dan Dijanjikan Tanah Perdikan
Suatu kali, Arya Penangsah
membalas dendam kematian ayahnya, Radeni Kikin, adipati Jipang Panolan, yang
dibunuh oleh Sunan Prawoto, untuk membantu ayahnya Sultan Trenggana naik tahta
menjadi raja ke=3 Demak. Arya Penangsang berhasil membunuh Sunan Prawoto, istri
dan adik iparnya. Arya Penangsang juga berusaha membunuh putra Sultan Trenggana
yang lain, seperti keluarga Adipati Pajang, Sultan Hadiwijaya, tetapi tidak
berhasil.
Sultan Hadiwijaya ingin
membalas tetapi tak berani terang-terangan karena merasa tidak enak karena
antara Aeya Penangsang dan Sultan Hadiwijaya adalah murid-murid Sunan Kudus. Ia
minta sahabatnya Ki Ageng Pemanahan dan Ki Ageng Penjawai untuk membunuh Arya
Penangsang. Sultan Hadowijaya menjanjikan tanah Alas Mentaok kepada Ki Ageng
Pemanahan dan perdikan Pati kepada ki Penjawi bila ia berhasil melakukan
tugasnya.
Akhirnya, pada tahun 1549, melalui Danang Sutowijaya, putra
Ki Ageng Pemanahan, yang juga putra angkat Sultan Hadiwijaya, Arya Penangsang
terbubuh. Dengan kematian Arya Penangsang, kekuasaan Demak, yang dipegang oleh
Arya Penangsang di Jipang Panolan, diambil alih dan dipindah ke Pajang. Jadilah
Hadiwijaya menjadi penerus raja Demak. Saat pelanyikan menjadi raja inilah,
Sunan Giri menyampaikan bahwa alas Mentaok akan menjadi kerajaan besar, setelah
Pajang.
Memimpin Perdikan Mataram
Perdikan Pati langsung
diserahkan kepada Ki Ageng Penjawi. Sedangkan Alas Mentaok tidak segera
diserahkan. Akhirnya, pada tahun 1556, melalui pendapat Sunan Kalijaga, salah
satu guru Sultan Hadiwijaya dan Ki Ageng Pemanahan, Alas Mentaok pun diberikan.
Ko Ageng Pemanahan bersumpah untuk setia kepada Sultan Hadiwijaya.
Sejak itu Ki Ageng Pemanahan bersama sahabatnya Ko Juru mertani membuka alas atau hutan Mentaok, sebagai tanah perdikan. Artinya, Ki Ageng Pemanahan berhak mengelola Mentaok dan tidak perlu membayar pajak, dan hanya harus mengadap Sultan Hadiwijoyo di Pajang setahun sekali. Alas Mentaok, ia beri nama Mataram. Dan karena ia menjadi penguasa Matram walaupun bukan raja atau adipati, dan ia bergelar Ki Gede Mataram. Ki Ageng Pemanahan atau Ki Gede Mataram wafat pada tahun 1584
Tidak ada komentar:
Posting Komentar